🪩 Negara Yang Menerapkan Kebijakan Pro Natalis
KEBERADAANimigran menjadi persoalan pelik di sejumlah negara yang banyak didatangi imigran. KEBERADAAN imigran menjadi persoalan pelik di sejumlah negara yang Artikel ini membahas tentang bagaimana dua negara Teluk Arab, yaitu Arab Saudi dan Uni Emirat Arab UEA, menerapkan kebijakan kepada para pekerja asing. Arab Saudi dan UEA memiliki peraturan yang sama untuk membatasi pekerja asing yaitu Nitaqat untuk Arab Saudi dan Tawteen untuk Uni Emirat Arab. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan perbedaan antara dua kebijakan yang telah menjadi kebijakan negara skala nasional itu. Dalam menganalisisnya, penulis menggunakan teori perbandingan politik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Arab Saudi dan UEA memiliki alasan yang sama mengapa mereka menerapkan kebijakan untuk membatasi pekerja asing. Pembatasan tenaga kerja asing adalah fenomena regional di negara-negara Gulf Cooperation Council GCC karena mereka memulai pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan pentingnya sektor tenaga kerja yang diperuntukkan bagi warga negara. Selain itu, kedua negara memiliki pengalaman yang berbeda dalam proses pengusulan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah dan sektor industri. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free 160 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 161Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019160 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 161Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabPerbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabSara Novia Satry dan Agus HaryantoProgram Studi Hubungan Internasional Universitas Jenderal Soedirmane-mail article discusses how two Arab Gulf countries, namely Saudi Arabia and the United Arab Emirates UAE, implemented policies for foreign workers. Saudi Arabia and the UAE have the same regulations to limit foreign workers namely Nitaqat for Saudi Arabia and Tawteen for the United Arab Emirates. The purpose of this article is to explain the dierence between the two policies which have become national-scale state policies. In analyzing it, the writer uses political comparison theory. The results of this study indicate that Saudi Arabia and the UAE have the same reason why they implement policies to restrict foreign workers. The limitation of foreign workers is a regional phenomenon of the Gulf Cooperation Council GCC countries because these countries have started a sustainable development and paid attention to the importance of the labor sector which is reserved for citizens. In addition, the two countries have dierent experiences in the process of proposing policies related to the interests of the government and the industrial Gulf Cooperation Council, Nitaqat, Saudi Arabia, Tawteen, United Arab EmiratesAbstrak Artikel ini membahas tentang bagaimana dua negara Teluk Arab, yaitu Arab Saudi dan Uni Emirat Arab UEA, menerapkan kebijakan kepada para pekerja asing. Arab Saudi dan UEA memiliki peraturan yang sama untuk membatasi pekerja asing yaitu Nitaqat untuk Arab Saudi dan Tawteen untuk Uni Emirat 160 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 161Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019160 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 161Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabArab. Tujuan dari artikel ini adalah untuk menjelaskan perbedaan antara dua kebijakan yang telah menjadi kebijakan negara skala nasional itu. Dalam menganalisisnya, penulis menggunakan teori perbandingan politik. Hasil penelitian ini menunjukkan bahwa Arab Saudi dan UEA memiliki alasan yang sama mengapa mereka menerapkan kebijakan untuk membatasi pekerja asing. Pembatasan tenaga kerja asing adalah fenomena regional di negara-negara Gulf Cooperation Council GCC karena mereka memulai pembangunan berkelanjutan yang memperhatikan pentingnya sektor tenaga kerja yang diperuntukkan bagi warga negara. Selain itu, kedua negara memiliki pengalaman yang berbeda dalam proses pengusulan kebijakan yang berkaitan dengan kepentingan pemerintah dan sektor Kunci Arab Saudi, Gulf Cooperation Council, Nitaqat, Tawteen, UEAPendahuluanBerdasarkan besarnya pengaruh ketenagakerjaan bagi negara, bidang ketenagakerjaan melalui pekerja asing mendapat perhatian tersendiri dalam studi hubungan internasional. Secara khusus, isu ketenagakerjaan berhubungan dengan regulasi migrasi dan ketenagakerjaan, baik dari negara pengirim atau negara penerima pekerja asing tersebut. Secara umum, pintu masuk para pekerja asing ini dapat melalui pemerintah, perusahaan, atau lembaga yang menaungi urusan penyaluran tenaga kerja. Masuknya sektor industri seperti perusahaan perminyakan ke negara-negara di daerah gurun seperti Arab Saudi, mendorong datangnya pekerja asing untuk dipekerjakan oleh perusahaan-perusahaan multinasional. Meskipun termasuk sebagai salah satu negara yang tidak pernah mendapat pengaruh kolonialisasi dari negara manapun secara langsung, Arab Saudi mulai menjalankan strategi pembangunan negara dengan membuka diri terhadap perusahaan asing dengan secara gencar, di mana salah satunya dengan mengutamakan komoditas perminyakan sebagai nilai jual dan cikal bakal penyokong sumber dana terbesar bagi Arab Saudi. Secara spesik, situasi ini sudah dimulai sejak tahun 1930 Simmons, 2005.Arab Saudi tercatat sebagai negara penghasil minyak bumi nomor satu di dunia CIA, 2018, di mana tambang minyak sebagai tulang punggung pendapatan Arab Saudi. Hal tersebut menjadi salah satu faktor yang membuat negara perlu 162 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 163Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019162 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 163Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmendatangkan tenaga kerja profesional dari negara lain untuk dipekerjakan Al-Asmari, 2014. Namun demikian, dalam beberapa tahun terakhir, Arab Saudi menyadari situasi ini akan menjadi persoalan di masa depan, yakni semakin terpinggirkannya pekerja nasional. Oleh karena itu, Kerajaan Arab Saudi melalui Kementerian Tenaga Kerja dan Pembangunan Sosial, pada tahun 2011 mengeluarkan salah satu wujud dari Saudisasi atau nasionalisasi Saudi dalam wujud sebuah program yang bernama Nitaqat Alshanbri, 2014.Selain Arab Saudi, Uni Emirat Arab UEA juga berhadapan dengan persoalan ketenagakerjaan yang sama, sehingga mereka ikut mengambil kebijakan pembatasan tenaga kerja asing. UEA mengeluarkan mandat yang mengharuskan perusahaan atau instansi untuk mengangkat penduduk lokal Emirat sebagai pekerjanya dalam bentuk kebijakan bernama Emiratisasi atau Tawteen . Hal ini dilakukan dengan tujuan menurunkan angka pengangguran penduduk lokal yang selalu menjadi beban negara karena semakin terlena akan terbebasnya dari kewajiban membayar pajak dengan riwayat hidup tanpa pekerjaan atau menganggur. Emiratisasi juga bertujuan untuk mengkampanyekan kebijakan yang berorientasi pada pembangunan dengan menambah dukungan terhadap kegiatan produksi 2019. Tulisan ini bermaksud menjelaskan fenomena sistem ketenagakerjaan di Timur Tengah, terutama di Arab dan Uni Emirat Arab, serta perbandingan kebijakan ketenagakerjaan di kedua negara. Untuk menjelaskan hal ini, penulis menggunakan teori perbandingan politik. Sementara metode penelitian yang diambil adalah metode kualitatif. Penulisan artikel ini dibagi ke dalam 4 bagian, yaitu pendahuluan, pemaparan mengenai teori perbandingan politik, sejarah pekerja asing di Timur Tengah, faktor tuntutan dari GCC, kebijakan ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab, serta Perbandingan PolitikPerbandingan Politik atau komparatif politik adalah sebuah studi yang membandingkan politik lintas negara dengan melihat aspek-aspek mana saja yang disorot dan menjadi kebutuhan sebagai pembandingan ini. Dari melakukan perbandingan juga dapat diperoleh persamaan-persamaan serta perbedaan-perbedaan dari suatu objek yang dikaji dengan objek lainnya. Tujuannya adalah untuk dapat mengetahui persamaan, perbedaan, kelebihan, dan kekurangan yang dimiliki dari objek-objek yang diteliti. Aspek politik yang dapat dipergunakan 162 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 163Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019162 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 163Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmeliputi persoalan sistem pemerintahan, kebijakan publik, serta struktur yang meliputi struktur negara, elite, dan kelompok yang akan dibahas nantinya adalah tentang kebijakan yang mengatur persoalan ketenagakerjaan yang ada di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab. Kebijakan yang dikeluarkan oleh kedua negara tersebut termasuk ke dalam kebijakan publik, yang mana kebijakan publik berarti dirancang untuk mencapai tujuan khusus dan membuahkan hasil-hasil tertentu sesuai dengan kesepakatan yang ada di badan birokrasi. Kebijakan publik dianggap penting, karena dimaksudkan untuk memecahkan masalah umum atau setidaknya untuk memperbaiki masalah tersebut yang dapat berupa kebijakan yang menyangkut hal-hal kecil bagi kehidupan bermasyarakat, namun juga meliputi kebijakan berskala besar Newton & Deth, 2016.Sejarah Pekerja Asing di Timur TengahSebagai negara-negara penghasil minyak, negara-negara di Timur Tengah menjadi tujuan utama bagi para profesional yang bekerja di sektor tambang. Kedatangan tenaga kerja asing ke Arab Saudi pun awalnya ditandai kehadiran ekspatriat minyak, yang kemudian mendorong jumlah warga negara asing mengalami peningkatan. Data menunjukkan bahwa adanya kedatangan migran yang secara masif ke Arab Saudi dengan peningkatan sekitar 27% dari jumlah total populasi negara yang saat itu masih berada di angka 13 juta penduduk dalam rentang waktu 1991-1992 Bel-Air b, 2018. Sementara itu, kondisi di negara-negara sekitar UEA pada masa itu tengah mengalami konik dalam negeri dari gejolak masyarakat karena dipicu oleh krisis minyak. Namun efek dari krisis minyak tidak membawa pengaruh buruk secara masif, seperti kekisruhan di dalam negeri, karena UEA baru dijadikan negara independen oleh pemerintah kolonial Inggris pada tahun 1971. Dengan demikian, UEA masih lebih stabil dari segi ekonomi politik jika dibandingkan negara-negara sekitarnya. Pada tahun-tahun awal pembangunan di tahun 70-an, UEA sangat bergantung kepada tenaga kerja asing agar mereka dapat mempertahankan pertumbuhan ekonomi dan standar hidup di dalam negeri. Lalu diperkenalkanlah program pekerja tamu sementara yang bertajuk Kafala Sponsorship System. Dalam program ini diatur bagaimana kesempatan bagi warga negara, ekspaktriat, dan perusahaan untuk mempekerjakan pekerja asing Malit Jr & Al Youha, 2013. 164 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 165Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019164 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 165Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabProgram tersebut membantu berbagai perusahaan untuk memenuhi kebutuhan mereka atas tenaga kerja yang mampu mengisi lapangan pekerjaan yang tersedia sesuai dengan standar yang mereka tetapkan. Namun di saat yang sama, program tersebut mendorong tajamnya peningkatan perbedaan proporsi antara pekerja Emirat dan pekerja asing. Angka pertumbuhan migran di UEA adalah sebesar 14,5% dari jumlah total populasi jumlah penduduk UEA tahun 2017 adalah sekitar 9,4 juta jiwa. Menurut data National Bureau of Statistics / Federal Competitiveness and Stastistics Authority 2014, bahkan sensus pertama yang diadakan pada tahun 1975 sudah menunjukkan bahwa warga negara asing telah mendominasi populasi di UEA dengan persentase 63,9% Bel-Air a, 2018. Dengan demikian, UEA sudah sejak awal berdirinya telah didominasi oleh warga negara asing yang secara terbuka dan berdasarkan kebutuhan diterima oleh pemerintah kebijakan Nitaqat di Saudi untuk menurunkan angka pekerja asing telah membuat negara-negara penghasil minyak yang berada di kawasan Teluk menjadi tertarik untuk membuat kebijakan serupa guna mencapai kepentingan negara yang tidak jauh berbeda dengan yang dimiliki Arab Saudi terhadap urusan ketenagakerjaannya Peck, 2017. Keseluruhan persoalan ketenagakerjaan yang dihadapi oleh Arab Saudi dan Uni Emirat Arab membuat kedua negara harus mampu membuat kebijakan yang mempertimbangkan kepentingan sektor individu dan perusahaan yang merupakan objek dari kebijakan ini. Harapannya, kebijakan tersebut dapat berselaras dengan kepentingan yang dimiliki negara untuk menstabilkan perekonomian mereka. Dalam kerangka GCC Gulf Cooperation Council, yaitu organisasi regional yang mencakupi negara-negara di Teluk Arab, yakni Arab Saudi, Bahrain, Kuwait, Oman, Qatar, dan Uni Emirat Arab, telah disepakati kebijakan kuota pekerja. Kebijakan tersebut berbentuk pengurangan jumlah tenaga kerja asing yang tersebar di negara-negara GCC agar dapat digantikan oleh pekerja pribumi atau warga negara asli Forstenlechner, et al., 2011 1.Tahapan Kebijakan Pekerja Migran di Negara-Negara Teluk GCC Pesatnya proyek-proyek pembangunan seiring dengan ditemukannya minyak di negara-negara Teluk GCC pada tahun 1973 membuat permintaan tenaga kerja pun meningkat sangat cepat, baik tenaga kerja yang terampil maupun unskilled labor, yang tidak dapat dipasok sepenuhnya dari dalam negeri. Hal ini disebabkan oleh minimnya tenaga kerja dari penduduk asli karena tidak adanya lembaga pendidikan dan pelatihan yang modern. Pada tahun 1975, total tenaga kerja nasional dari enam negara Teluk penghasil minyak hanya berjumlah 1,36 juta orang. Oleh karena 164 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 165Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019164 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 165Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabitu, untuk menghadapi dua keterbatasan dasar ini, kebijakan yang diadopsi oleh negara-negara Teluk adalah membuka pintu bagi tenaga kerja asing. Namun negara-negara itu juga menerapkan kebijakan jangka panjang yang terdiri dari dua elemen dasar, yaitu implementasi kebijakan pro-natalis yang ekstrem untuk meningkatkan angka kelahiran dan investasi besar di bidang pendidikan dan pelatihan untuk meningkatkan kualitas tenaga kerja dari kebijakan jangka pendek itu, selama masa berlimpahnya produksi minyak 1973-1982, jumlah tenaga kerja asing di negara-negara Teluk meningkat pesat, mencapai 4,4 juta pada tahun 1985. Ketika era oil boom berakhir dan ada penurunan tajam dalam pendapatan minyak pun jumlah tenaga kerja asing terus meningkat, meskipun dengan laju yang lebih lambat dibandingkan sebelumnya. Pada tahun 1985, tenaga kerja asing di negara-negara GCC berjumlah 4,4 juta dan mencapai 5,2 juta pada pertengahan 1990, sementara jumlah orang asing secara keseluruhan berjumlah 9,4 juta orang Focus Migration, 2012 3.Sementara itu, kebijakan pro-natalitas ternyata tidak berhasil mencapai hasil sesuai yang diharapkan. Kebijakan pro-natalitas adalah kebijakan untuk meningkatkan jumlah kelahiran anak sehingga penduduk pribumi meningkat. Kebijakan ini diterapkan melalui beberapa program, di antaranya mendorong pernikahan dini dengan memberikan dana pernikahan, subsidi pendidikan, tunjangan anak, serta penyediaan fasilitas perumahan. Program ini didasari target meningkatkan jumlah sumber daya manusia yang tersedia di suatu negara dengan mendorong reproduksi dan populasi pertumbuhan, agar negara tepat sasaran dalam upaya meningkatkan esiensi warga negara usia pekerjanya untuk turut memajukan peradaban negara. Sejak pertengahan 1990-an, Oman dan Arab Saudi telah mulai menghentikan kebijakan pro-natalis ini, namun pada praktiknya berbagai subsidi itu tetap diberikan. Meskipun demikian, angka kelahiran terus menurun. Bahkan di negara yang tetap memberlakukan kebijakan pro-natalis seperti Qatar dan Kuwait, tingkat kelahiran menurun menjadi sekitar 3,5 anak per wanita dibandingkan dengan 6 hingga 8 anak di tahun 1970-an dan awal 1980-an. Penurunan ini terutama disebabkan oleh meningkatkan taraf pendidikan wanita Focus Migration, 20123. Akhirnya pada tahun 1990, negara-negara GCC mulai menyadari bahwa lapangan pekerjaan yang tersedia di sektor publik tidak dapat menyerap tenaga kerja mereka secara optimal. Pada masa itu, tingkat pengangguran di kalangan penduduk pribumi di masing-masing negara GCC mencapai lebih dari 10%. Ketidakmampuan negara-negara ini disorot dari fakta perihal kebijakan-kebijakan dari GCC yang banyak berfokus pada upaya meningkatkan kemampuan kelompok pencari kerja 166 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 167Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019166 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 167Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabini untuk menjadikan sektor swasta sebagai pilihan dalam memasuki jenjang karir Forstenlechner, Madi, Selim, & Rutledge, 20111. Kebijakan nasionalisasi angkatan kerja tradisional GCC sukses di sektor publik, namun hampir sepenuhnya gagal di sektor swasta terutama karena untuk kesenjangan gaji yang lebar antara warga negara dan pekerja asing; serta penentangan dari pengusaha-pengusaha asing dalam mempekerjakan warga pribumi karena mereka lebih memilih pekerja asing Focus Migration, 2012 4. Selain itu, fenomena Arab Spring juga menjadi salah satu pendorong berubahnya kebijakan ketenagakerjaan. Arab Spring adalah gelombang aksi-aksi demo rakyat di berbagai negara Arab memprotes kondisi ekonomi mereka. Salah satu hal yang diserukan dalam Arab Spring adalah tentang perbaikan ekonomi dengan cara melepaskan diri dari ketergantungan kepada minyak dan beralih kepada penguatan ekonomi lokal dengan mendorong rakyatnya untuk bekerja pada sektor Arab Spring dimulai di Tunisia pada 2011, dan kemudian menyebar ke negara-negara GCC, terutama ke Bahrain dan Oman. Hal ini membuat pemerintah negara-negara GCC menghentikan kebijakan nasionalisasi dan sebagai gantinya, mereka berkonsentrasi mengurangi pengangguran kaum muda yang berpendidikan dan meningkatkan taraf hidup warga negara, apa pun implikasi jangka panjangnya terhadap pasar tenaga kerja. Pada 18 Maret 2011, Raja Abdullah dari Arab Saudi mengumumkan implementasi reformasi sosial ekonomi baru yang terutama mencakup pembayaran langsung gaji dua bulan kepada semua pegawai pemerintah sebagai kompensasi untuk kenaikan biaya hidup; pembayaran bulanan sebesar Riyal Saudi sebagai tunjangan pengangguran; menetapkan upah minimum sebesar Riyal Saudi untuk semua pegawai pemerintah; dan menambah posisi di Kementerian Dalam Negeri. Namun, akibatnya, hal ini membuat menurunnya upaya warga negara untuk mencari pekerjaan di sektor Kerajaan Oman juga mengambil kebijakan serupa, antara lain menaikkan upah minimum dari $ 364 menjadi $ 520 untuk karyawan sektor publik. Empat negara GCC lainnya juga mengambil langkah serupa, yaitu meningkatkan standar hidup, meningkatkan upah sektor publik dan mengurangi pengangguran di kalangan pemuda melalui penyerapan besar-besaran ke sektor publik. Focus Migration, 2012 10.Harga minyak dunia yang mengalami titik rendahnya pada pertengahan 2014 membuat GCC berfokus pada upaya diversikasi ekonomi atau usaha untuk menghindari ketergantungan pada ketunggalan perekonomian dengan 166 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 167Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019166 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 167Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmemaksimalkan sektor industri yang mendayagunakan kemampuan sumber daya manusia SDM yang terdapat di perusahaan. Antara lain yang mereka lakukan di tahap awal adalah melakukan promosi atas sektor swasta sebagai penghasil pendapatan pajak dan lapangan kerja, khususnya untuk menerima dan mendorong agar warga negara mereka memasuki pasar kerja. Selain itu, pusat ekonomi dialihkan dari sektor minyak sebagai upaya mitigasi atas rentannya harga minyak yang semakin tidak menentu serta dominannya negara di luar GCC seperti Irak, Libya, Kongo, dan Papua Nugini yang turut meramaikan bursa penjualan minyak dunia Stevens, 20162. Dengan demikian, usaha-usaha untuk melakukan diversikasi ekonomi semakin memperkuat gagasan untuk memberlakukan usaha pembagian kuota pekerja terhadap lapangan pekerjaan di dalam negeri yang sebenarnya telah mereka inisiasi 24 tahun sebelumnya. Negara-negara GCC berupaya mengarahkan warga negaranya untuk bekerja di sektor swasta dan masing-masing negara kemudian mengeluarkan agenda nasional dengan tajuk vision yang mencakup peralihan ketergantungan negara-negara di Teluk Arab akan sumber daya minyak. Dengan demikian, banyak pemerintah GCC berusaha untuk mempromosikan reformasi ekonomi, dengan penekanan khusus pada perlunya privatisasi yang luas. Misalnya, Arab Saudi pada bulan April 2016 telah meluncurkan Program Transformasi Nasional NTP sebagai bagian dari kerangka implementasi untuk Visi 2030. Kuwait berencana meningkatkan partisipasi sektor swasta hingga 40-50 persen dalam usaha patungan publik-swasta, antara lain di sektor bandara, pelabuhan, pembangkit listrik dan bagian-bagian Kuwait Petroleum. Penguasa Qatar dilaporkan melakukan esiensi anggaran pada 2016 yang dimaksudkan untuk fokus penghematan dalam pengeluaran pemerintah dan untuk mempromosikan pertumbuhan di sektor non-minyak Stevens, 2016. Negara-negara GCC juga mengharuskan sektor swasta di dalam negari untuk merekrut warga negaranya dengan kuota yang berbeda-beda, dilihat dari kebijakan negara yang menaunginya. Adapun Arab Saudi melalui Nitaqat dan Uni Emirat Arab dengan Tawteen adalah contoh dua negara yang menerapkan kebijakan terhadap lapangan pekerjaan. GCC juga mengeluarkan kebijakan ketenagakerjaan dengan menghomogenkan sektor swasta di dalam negeri agar terciptanya peluang kerja yang lebih luas dan berkelanjutan. Dalam hal ini, UEA turut serta dalam menerapkannya di internal negara dengan tiga prinsip utama, yaitu; pertama, prinsip diversikasi sebagai tujuan jangka panjang dalam upaya untuk menjauh dari ketergantungan yang berlebihan pada sektor padat modal. Kedua, merombak sistem pendidikan dan lebih menyelaraskan 168 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 169Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019168 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 169Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabdengan bekal keterampilan individu yang mengacu kepada kebutuhan pasar pekerja. Ketiga, melakukan intervensi terhadap pasar, seperti menetapkan kuota dan alokasi jenis pekerjaan yang hanya bisa dilakukan oleh warga lokal Forstenlechner, Madi, Selim, & Rutledge, 2011 4. Arab Saudi menetapkan program yang disebut Vision 2030 yang isinya menetapkan tujuan transformasi ekonomi Arab Saudi yang mendiversikasi pertumbuhan, mengurangi ketergantungan pada minyak, meningkatkan peran sektor swasta, dan menciptakan lebih banyak lapangan kerja bagi warga negara. Di antara program yang dilakukan adalah meningkatkan sektor swasta dalam ekonomi, privatisasi, reformasi, menarik investasi asing, dan mendorong pengembangan pasar modal Stevens, 2016. Agenda tersebut dirilis pada April 2016 dengan tujuan untuk mereformasi Saudi secara fundamental dengan berorientasi kepada upaya meningkatkan perekonomian dan taraf hidup masyarakat Saudi itu sendiri. Vision 2030 merupakan cetak biru ekonomi yang berupaya untuk mengubah negara menerapkan ekonomi produktif yang berbasis kepada industri agar dapat mengurangi ketergantungan Arab Saudi terhadap sumber daya minyaknya. Gagasan asli dari Vision 2030 berasal dari dokumen tahun 2015, Arab Saudi Beyond Oil yang dikembangkan oleh sebuah perusahaan konsultan bisnis. Isi dari dokumen tersebut adalah laporan mengenai jebakan ketergantungan Arab Saudi akan sumber daya minyak mereka, serta langkah preventif apa yang mereka butuhkan untuk membangun ekonomi yang berkelanjutan Nuruzzaman, 2018 1-2. Pada intinya, Vision 2030 berisi tentang tuntutan-tuntutan ekonomi dan pembangunan yang diajukan kepada Kerajaan Arab Saudi oleh warga negara, kelompok regional GCC, serta kelompok kepentingan yang melihat ketergantungan minyak akan menyebabkan terpuruknya Arab Saudi di masa yang akan dengan Arab Saudi, Uni Emirat Arab pula memiliki agenda nasional jangka panjang yang tertulis dalam program Vision 2021. Agenda ini dirilis pada tahun 2010 di tingkat negara federal sebagai upaya preventif dalam menghadapi krisis akibat menurunnya keuntungan negara atas pendapatan sektor minyak Moshashai, 2018 5.Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi Arab Saudi melakukan upaya peningkatan tenaga kerja lokal yang tidak hanya dirancang untuk mengatasi urusan pengangguran endemik, namun sesungguhnya untuk menjadi langkah preventif dari segi politik dan ekonomi. Tuntutan untuk 168 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 169Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019168 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 169Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmengurusi sektor ketenagakerjaan di Arab Saudi secara lebih terfokus justru bersumber dari kesadaran pemerintah atas kebutuhan mereka untuk menjalankan pembangunan berkelanjutan, bukan karena adanya permintaan warga Saudi sendiri untuk dapat mengakses pekerjaan seluas-luasnya. Lapangan kerja di Arab Saudi sudah menerima pekerja dari luar negeri dengan jumlah perbandingan sekitar warga asing dan jumlah warga Saudi, menurut data World Bank pada tahun 1998 Randeree, 2012. Bangkitnya usaha perminyakan di tahun 2000 mendorong perekonomian di Arab Saudi meningkat dari 58,2 miliar dollar menjadi 63,1 miliar dollar Cordesman, 2003. Naiknya pendapatan negara dapat mendorong ekonomi bertumbuh dengan masif, membuat warga negara asing semakin berkeinginan untuk mencari kesejahteraan di Arab Saudi. Pertumbuhan pekerja asing tersebut membuat jumlah populasi meningkat sebesar 1 juta orang hanya dalam kurun dua tahun dari 1998 ke 2000, yakni masa ketika Saudi tengah mengalami pertumbuhan ekonomi. Menyikapi persoalan meningkatnya populasi pekerja asing tersebut, pemerintah mencoba menekannya dengan memberikan peraturan berupa range untuk pembagian kuota pekerja di dalam suatu instansi di antara pekerja asing dan pekerja lokal. Hal ini termasuk dalam misi negara untuk mengganti pekerja asing menjadi pekerja Saudi. Saudi juga semakin memperketat pengurusan dokumen bagi imigran, bahkan turut melakukan pengecekan atas dokumen dari imigran yang ada di dalam negeri. Lalu bagi yang melanggar keabsahan dokumen yang imigran miliki, mereka akan dideportasi ke negaranya kembali Wynbrandt, 2014.Kebijakan pengetatan aturan ini kemudian berkembang menjadi kebijakan ketenagakerjaan bernama Nitaqat di tahun 2011. Lalu timbullah permasalahan akibat reaksi perusahaan-perusahaan yang keberatan atas kebijakan ini. Perusahaan-perusahaan itu merasa dirugikan karena mereka harus merekrut warga Saudi sesuai ketetapan pemerintah. Keberatan tersebut antara lain dikarenakan banyak pekerja Saudi yang tidak punya kompetensi, keahlian individu yang belum dapat memenuhi kebutuhan perusahaan, atau kurangnya tanggung jawab para pekerja lokal dikarenakan mereka merasa aman dengan adanya subsidi negara apabila mereka kembali menganggur. Menyikapi tuntutan dari perusahaan sebagai kritik atas kebijakan ketenagakerjaan yang pada awalnya untuk menyelamatkan pekerja Saudi ini, pihak kerajaan pada akhirnya membuat Nitaqat dengan menyertakan berbagai range guna dapat mengklasikasikan perusahaan berdasarkan jumlah perbandingan 170 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 171Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019170 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 171Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabpekerja asing dan lokal yang mereka miliki. Aturan ini disertai dengan keuntungan yang mereka akan dapatkan apabila perusahaan berkenan untuk merekrut pekerja Saudi sesuai dengan ketentuan yang ada, yaitu perusahaan juga dapat merekrut pekerja asing lebih leluasa, bergantung kepada di range mana perusahaan mereka berlabel Cordesman, 2003.Kebijakan Nitaqat memiliki tujuan yang sejalan dengan Vision 2030 yang menjadi pilar penting dalam program pembangunan yang dimiliki oleh pemerintah Arab Saudi. Kebijakan ini memberikan efek kombinasi kepada pekerja asing, yaitu menekan jumlah pekerja asing yang tersebar di sektor swasta sekaligus memberikan peluang bagi warga negara Saudi untuk mendapatkan pekerjaan Peck, 2017. Jika dilihat dengan cakupan yang besar, kebijakan ini memiliki tujuan di antaranya untuk meningkatkan kinerja pasar tenaga kerja, menyediakan lingkungan pekerjaan yang layak bagi warga negara, pengurangan lapangan kerja yang non-produktif untuk kemudian menargetkannya kepada warga Saudi dalam usia dan kondisi yang prima untuk bekerja, dan pengurangan ketergantungan terhadap pekerja asing Minister of Labor & Social Development. Kronologi kebijakan Nitaqat dimulai sejak tahun 1994 dengan dikeluarkannya Council of Ministers Decision No. 50 of 1994 on Saudisation yang berisi tentang rekomendasi bagi seluruh perusahaan yang berada di dalam wilayah Saudi Arabia untuk merekrut warga Saudi sebagai pekerjanya Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia a, 1994. Bahkan pada tahun tersebut sudah diatur kuota minimal sebesar 5% dari total pekerja yang ada untuk diisi oleh pekerja dari warga Saudi, meliputi segala bentuk usaha, aktivitas, maupun bidang dari perusahaan tersebut. Kebijakan kuota minimal inilah yang kemudian mengalami pengembangan secara lebih spesik berpuluh tahun kemudian dalam range kebijakan Nitaqat. Seiring perkembangan zaman dan arus pekerja yang semakin meningkat setiap tahunnya, dalam Ministerial Decision No. 4040 yang dikeluarkan pada 10 September 2011 Saudi memberlakukan penggunaan Nitaqat Ministry of Labour of Kingdom of Saudi Arabia b, 2011. Kebijakan ini kemudian disusul oleh keputusan menteri pada tanggal 16 Oktober 2011 dalam Ministerial Decision No. 1/4687 berisi perintah yang diantaranya tiap perusahaan harus memiliki 1 tenaga kerja berkerwarganegaraan Arab Saudi per 9 tenaga kerja berkewarganegaraan asing. Kebijakan juga akan berlaku bagi perusahaan yang memiliki pegawai kurang dari 10 orang untuk setidaknya memiliki 1 orang pegawai Saudi. Selain itu, tiap pihak yang mempekerjakan baik pekerja asing maupun lokal diwajibkan untuk memberikan akses fasilitas dan asuransi 170 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 171Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019170 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 171Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabsebagai wujud dari pertanggungjawaban dari kewenangan yang diberikan oleh pihak kerajaan Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia c, 2011.Setahun setelahnya dikeluarkan kebijakan diferensiasi kelas bagi tiap perusahaan berdasarkan tingkat kemampuan mereka untuk menerima warga Saudi sebagai tenaga kerja di perusahaan bersangkutan dalam Ministerial Decision No. 1/5024 yang dikeluarkan pada 12 Oktober 2012. Hal ini menjadikan Nitaqat sebagai kebijakan yang menentukan apakah suatu perusahaan dapat menerima tenaga kerja asing baru dan apakah diperbolehkan bagi seorang warga negara asing untuk bekerja di perusahaan dengan melihat di kelas apa perusahaan itu berada. Jika sebuah perusahaan tidak mempekerjakan warga Saudi bahkan dengan jumlah minimal yang sudah ditentukan oleh pemerintah, perusahaan tersebut akan kesulitan dalam mengakses izin tinggal dan visa bagi pekerja asingnya, baik dalam urusan memperpanjang atau untuk merekrut pekerja asing yang baru Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia d, 2012. Kebijakan inilah yang nantinya akan menjadi pemantik diberlakukannya Nitaqat di dalam negeri. Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa Nitaqat merupakan kebijakan yang termasuk dalam skema atau kebijakan Saudisasi. Kebijakan ini memberikan efek kombinasi kepada pekerja asing, yaitu menekan jumlah pekerja asing yang tersebar di sektor swasta di suatu negara sekaligus memberikan peluang bagi warga negara Saudi untuk mendapatkan pekerjaan Peck, 2017. Adapun diferensiasi dalam Nitaqat adalah sebagai berikutTabel 1. Range NitaqatKelas Kuota Visa Rekrutmen IqamaPlatinum>40% pekerja SaudiProses visa tanpa batas waktuDapat merekrut pega-wai dari kelas Yellow/RedDapat memperbarui iqama, bahkan 3 bulan sebelum masa berlaku habisGreen>12% pekerja SaudiProses visa tiap 2 bulan sekaliDapat merekrut pega-wai dari kelas Yellow/RedDapat memperbarui iqama, bahkan 3 bulan sebelum masa berlaku habis 172 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 173Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019172 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 173Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabYellow>7% pekerja SaudiTidak dapat memproses visaTidak dapat merekrut dan menolak kepin-dahan pegawai dari kelas lainTidak dapat memperba-rui iqamaRed>4% pekerja SaudiTidak dapat memproses visaTidak dapat merekrut dan menolak kepin-dahan pegawai dari kelas lainTidak dapat memperba-rui iqama Sumber Saudi Expatriate 2017Terlihat di tabel, sistem Nitaqat mengklasikasikan organisasi ke dalam 4 kategori, yaitu Platinum, Hijau, Kuning dan Merah tergantung pada ukuran entitas dan persentase warga negara Saudi untuk karyawan asing dalam tenaga kerja mereka. Pengusaha yang berbasis di Saudi dalam kategori Platinum dan Hijau mewakili rasio tertinggi warga negara Saudi, di mana Kuning dan Merah menunjukkan rasio terendah yang dipekerjakan oleh warga negara Saudi. Organisasi yang berada dalam kategori Platinum dan Hijau dapat mengambil manfaat dari perlakuan imigrasi yang menguntungkan seperti jadwal pemrosesan aplikasi yang lebih pendek untuk karyawan asing yang naik kapal ke perusahaan mereka 2017.Sebagai tingkatan teratas, platinum memiliki akses yang lebih besar dalam memproses visa tanpa harus menunggu jangka waktu. Perusahaan di kelas ini juga dapat memperbarui iqama, yakni izin kerja dan kartu tempat tinggal yang diperlukan agar seorang pekerja asing dapat bekerja dan tinggal di Arab Saudi. Pekerja asing yang telah memiliki iqama memiliki kesempatan untuk dipekerjakan oleh perusahaan yang telah diakui kelasnya dalam Nitaqat, dalam jangka waktu tertentu. Durasi izin kerja bagi tiap individu pun beragam karena mengacu kepada keputusan dari pemerintah langsung. Namun pada umumnya validitas izin kerja dikeluarkan untuk durasi satu tahun, sementara untuk perpanjangan durasi dapat dilakukan pembaruan sesudahnya velocityglobal, 2018.Sejak 3 September 2017, Arab Saudi memberlakukan aturan agar semua perusahaan yang sedang mempertimbangkan untuk memperluas operasi atau tenaga kerja mereka di Arab Saudi disarankan untuk meninjau kembali kategori Nitaqat mereka dan mengevaluasi perencanaan tenaga kerja mereka agar selaras dengan dorongan Saudisasi. Semua pengusaha tersebut disarankan untuk 172 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 173Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019172 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 173Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arab1. Meninjau proses SDM internal, untuk memastikan bahwa prosedur rekrutmen dan imigrasi mereka memungkinkan pelaksanaan reformasi Nitaqat ini dengan Merancang dan mengimplementasikan program magang dan pelatihan untuk kaum pribumi Saudi dalam rangka memenuhi program training wajib yang disebut Sai.3. Menerapkan prosedur perencanaan tenaga kerja untuk memastikan kebutuhan tenaga kerja organisasi selaras dengan tujuan nasionalisasi Merancang strategi organisasi untuk menarik dan mempertahankan warga negara Menerapkan proses pemeriksaan kesehatan untuk memastikan kesiapan pekerja dalam memenuhi peraturan pasar tenaga kerja Meninjau struktur penugasan dan memastikan rencana sumber daya dibuat untuk memenuhi strategi keseluruhan Meninjau semua posisi penting untuk mengembangkan rencana suksesi untuk melatih penggantian tenaga kerja nasional pribumi dalam jangka menengah hingga Memperkuat proses pembinaan dan pengembangan untuk mendukung warga negara Mengembangkan kemitraan dan kolaborasi dengan universitas dan akademi pelatihan untuk memfasilitasi magang dan pelatihan 2017.Tabel 2. Perbandingan Kebijakan Ketenagakerjaan Arab Saudi dan Uni Emirat ArabNo Perbandingan Arab Saudi Uni Emirat Arab1 Nama Kebijakan Nitaqat Tawteen2 Tahun Berlaku 2011 20163 Sasaran Kebijakan Sektor privat dan pekerja Sektor privat dan pekerja4 Pembuat Kebijakan Kementerian Tena-ga Kerja dan Pem-bangunan Sosial Arab SaudiKementerian Sumber Daya Manusia dan Emiratisasi Sumber Alshanbri 2014, 2019 174 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 175Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019174 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 175Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabKebijakan Ketenagakerjaan di Uni Emirat ArabKebijakan Nitaqat yang diberlakukan Arab Saudi menginspirasi Uni Emirat Arab UEA untuk membuat kebijakan dengan tajuk Emiratisasi yang diperinci dalam kebijakan Tawteen. Kebijakan Tawteen lahir dari kondisi di UEA yang mendorong negara untuk melakukan inovasi agar dapat membuka lapangan pekerjaan yang luas bagi warga Emirat serta menjaga keberlangsungan pembangunan sesuai dengan kebutuhan Emirat. Kebijakan ini memiliki tujuan spesik yang di antaranya mengatur urusan bisnis atau perburuhan, menyediakan layanan yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan pengguna sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, serta mengelola pasar bisnis dengan melayani dan mendukung hubungan kerja di tingkat internasional United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation b, 2018.Pengembangan ekonomi negara yang dilakukan UAE segera dimulai sejak mereka meraih kemerdekaan tahun 1971. UAE menyadari bahwa sesungguhnya negara memiliki kemampuan untuk memanfaatkan sumber daya yang tersedia dan segera memperbaiki infrastruktur ekonomi-sosial yang justru lebih menyerap tenaga kerja asing daripada merekrut warga Emirat itu sendiri Halliday, 1977. Meningkatnya infrastruktur yang dimiliki UEA disusul oleh datangnya sektor swasta untuk beroperasi di dalam negeri. Namun pada saat itu negara masih tergolong ramah bisnis’, yang terealisasi dalam bentuk tidak adanya upah minimum, tidak ada serikat pekerja, dan pemberian wewenang dan kemudahan dalam merekrut dan memberhentikan pekerja Forstenlechner, Madi, Selim, & Rutledge, 20112. Atas dasar kondisi itu, sektor swasta menjadi lebih berminat untuk mempekerjakan warga negara asing karena mereka mau diupah murah oleh perusahaan. Hal ini membuat arus tenaga kerja asing yang masuk ke UEA kian meningkat, terutama setelah dibukanya akses pekerjaan dari program peningkatan infrastruktur dengan Arab Saudi yang sudah memulai langkahnya untuk kebijakan ketenagakerjaan pada pertengahan tahun 90-an, Uni Emirat Arab justru baru dapat memulainya pada tahun 2006 dengan mengeluarkan kebijakan yang mengatur ketenagakerjaan asing mereka dalam Ministerial Decision No. 286 dengan nama kebijakan Regarding the Balance of Nationalisation Quotas for Private Sector Establishments. Kebijakan yang ada masih berupa gagasan awal bagi kuota pekerja di sektor privat dengan mengharuskan perusahaan untuk menyelesaikan seluruh prosedur untuk legalisasi kelompok kerja sebagai prasyarat. Hal tersebut nantinya akan berguna bagi perusahaan untuk meningkatkan kapasitas perusahaan untuk 174 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 175Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019174 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 175Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmenerima tenaga kerja asing sebagai pekerjanya. Kebijakan ini sudah mulai mengatur persoalan upah yang akan diterima pekerjanya dengan berdasarkan status pendidikan terakhir yang dimiliki oleh tiap individu. Bagi pekerja yang menempuh pendidikan terakhir lebih dari jenjang sekolah menengah atas dapat menerima upah dengan jumlah 5000 dirham atau sekitar 12 juta rupiah jika dikonversikan pada tahun yang sama. Disusul dengan 4000 dirham untuk pemegang ijazah sekolah menengah atas dan 3000 dirham untuk yang tidak memiliki ijazah di tingkat yang setara Ministry of Labour of United Arab Emirates a, 2006.Kebijakan Ministerial Decree 92 of 2006 yang berjudul Rules and Conditions for the Termination of Employment Relations memberikan keleluasaan bagi perusahaan yang telah mempekerjakan 100 pekerja atau lebih untuk mengganti pekerjanya tanpa melalui Work Permit Committees atau Komite Izin Kerja. Namun perusahaan hanya dapat mengganti individu dari pekerjanya dengan individu yang berkebangsaan, jenis kelamin, dan ranah profesi yang sama. Masih dengan kebijakan yang sama, kebijakan tertuju kepada perusahaan yang mempekerjakan 100 pekerja atau lebih serta mampu mematuhi ketentuan yang telah dibuat dalam pasal ini, maka mereka dapat mengajukan perizinan untuk menggantikan pekerja Ministry of Labour of United Arab Emirates b, 2006. Berbeda dengan dua kebijakan sebelumnya, Ministerial Resolution No. 1283 of 2010 dengan judul Regarding the Licensing and Regulation of Private Recruitment Agencies yang dikeluarkan pada 23 Desember 2010, justru lebih berfokus kepada penyalur tenaga kerja asing yang umumnya berbentuk lembaga atau biro jasa yang diperketat dengan mengharuskan mereka untuk mengantongi izin dari Pemerintah Emirat untuk beroperasi. Perusahaan kembali disorot dalam kebijakan ini untuk membayarkan upah pekerjanya melalui lembaga-lembaga penyalur pekerja mereka kepada individu pekerja yang bersangkutan. Kedua poin tersebut bertujuan untuk menciptakan biro jasa tersebut untuk menjadi jembatan antara individu yang menjadi pekerja dan perusahaan yang menaunginya Ministry of Labour of United Arab Emirates c, 2010.Selanjutnya, pada tahun 2015, Pemerintah Emirat di bawah Kementerian Sumber Daya Manusia dan Emiratisasi mengeluarkan tiga ministerial decree sebagai bentuk penyempurnaan dari kebijakan yang telah dikeluarkan pada tahun-tahun sebelumnya sebelum disahkan pada tanggal yang berbeda di tahun 2016. Dimulai dari Ministerial Decree 764 of 2015 dalam judul Approved Standard Employment Contracts yang kemudian baru disahkan pada 27 September 2016. Isi dari kebijakan ini diantaranya untuk memperkenalkan standar perjanjian dasar pekerjaan yang nantinya akan diadopsi sebagai Standar Kontrak Kerja Standard Employment 176 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 177Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019176 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 177Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabContract. Perusahaan dapat menerima persetujuan sementara untuk menerima pekerja asing tidak dapat diberikan kesempatan kerja hingga Standar Kontrak Kerja ditandatangani oleh pekerja yang bersangkutan sebelum perusahaan atau instansi yang menaunginya dapat mulai mempekerjakannya Ministry of Labour of United Arab Emirates d, 2015.Selanjutnya dalam Ministerial Decree 765 of 2015 yang berjudul Rules and Conditions for the Termination of Employment Relations, berisi tentang amandemen dari ketentuan undang-undang ketenagakerjaan perihal pemutusan hubungan kerja yang berkaitan dengan mengatur tentang bagaimana kedua pihak untuk mengakhiri kontrak dan kesepakatan rugi yang harus dibayarkan salah satu pihak mana yang lebih dulu mengakhiri periode kerja, dengan tujuan untuk melindungi kedua pihak dari lepasnya tanggungjawab salah satu pihak akan kontrak yang mengikat mereka dalam ranah dunia kerja. Apabila kemudian perusahaan ingin merekrut pekerja asing yang baru, perusahaan itu membutuhkan pengajuan izin kerja baru yang hanya akan dapat diterima bila memenuhi serangkaian ketentuan yang berlaku. Sebagai bentuk perlindungan terhadap kelompok pekerja, mereka diberikan kesempatan untuk mengajukan pengaduan pengadilan terhadap perusahaan terkait yang tidak dapat memberikan mereka pekerjaan sebagaimana mestinya dan hak atas upah akibat pailitnya perusahaan Ministry of Labour of United Arab Emirates e, 2015. Selanjutnya pemerintah UAE melakukan penyempurnaan pada kebijakan sebelumnya yang masih memiliki cakupan serupa namun dengan perluasan sasaran kebijakan. Dalam Ministerial Decree 766 of 2015 yang berjudul Rules and Conditions for Granting a Permit To a Worker for Employment by a New Employer, masih terdapat pembahasan yang berfokus kepada hak pekerja dalam menuntut perusahaan ke pengadilan, apabila mereka belum mendapatkan upah kurang dari dua bulan. Dikeluarkan pada tanggal 1 Januari 2016, kebijakan ini juga mencantumkan hal kontrak yang bersinggungan dengan durasi dan konsekuensi yang ditanggung salah satu pihak apabila jika ada yang menginisiasi pengurangan durasi kontrak kerja. Jika perusahaan yang melakukan pengurangan durasi, perusahaanlah yang harus menanggung kerugian yang dialami pekerja atas kondisi yang tidak sesuai kontrak, dan begitupun sebaliknya apabila pekerjanya yang memutus kontrak terlebih dahulu Ministry of Labour of United Arab Emirates f, 2015. 176 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 177Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019176 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 177Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabTabel 3. Range TawteenSumber Gulf News 2019; UAE Ministry of Human Resources & Emiratisation 2019Lain halnya dengan Nitaqat yang memulai persentase dari penduduk lokal untuk bekerja di sebuah perusahaan dengan angka lebih dari 40%, Tawteen justru memulainya dari angka 12%. Kelas platinum atau kelas teratas dari range Tawteen ini menempati kelas 1 yang disertakan dengan berbagai benet. Di antaranya, memungkinkan perusahaan untuk memulihkan pinjaman banknya saat memberikan asurasi kepada seluruh pegawai perusahaan, yang mana nantinya akan mempermudah perusahaan untuk mengolah aliran modal dan kebutuhan untuk membayar upah pekerjanya. Kelas ini dapat merekrut pegawai baru dengan membayar izin kerja seperti yang sudah ditetapkan oleh pemerintah dan dapat mengakses fasilitas red carpet. Namun sebenarnya, seluruh kelas bahkan termasuk kelas terendah yaitu red, juga dapat mengakses fasilitas red carpet. Fasilitas ini bertujuan untuk menjembatani perusahaan dengan Kementerian Sumber Daya Manusia dan Emiratisasi dalam urusan ketenagakerjaan. Adapun benet lainnya, Fast Kelas Kuota Izin Kerja Rekrutmen Red CarpetPlati-num>12% pekerja EmiratDapat mem-perbarui/ mengeluarkan izin kerjaDapat merekrut pegawai dengan membayar izin kerjaDapat mengakses fasil-itas red carpetGold >8% peker-ja EmiratDapat mem-perbarui/ mengeluarkan izin kerjaDapat merekrut pegawai dengan membayar izin kerja dengan tarif platinumDapat mengakses fasil-itas red carpetSilver >4% peker-ja EmiratDapat mem-perbarui/ mengeluarkan izin kerjaDapat merekrut pegawai dengan membayar izin kerja dengan tarif platinumDapat mengakses fasil-itas red carpetBronze 0% pekerja EmiratTidak dapat memproses visaTidak dapat men-gakses izin kerja yang baruDapat mengakses fasil-itas red carpet 178 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 179Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019178 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 179Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabTrade Service yang berprioritas terhadap perusahaan dalam memberikan pelayanan terkait ketenagakerjaan. Dalam prosesnya, kementerian akan menunjuk pihak ketiga untuk menjadi konsultan bisnis dan hukum bagi perusahaan United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation c, 2019. Hal yang menjadi pembeda di antara kelas-kelas yang tersedia adalah kemampuan perusahaan untuk merekrut pegawai dengan membayar izin kerja namun harus disetarakan tarifnya dengan kelas Platinum yang diketahui sebagai kelas teratas dalam Tawteen lahir dari keinginan pemerintah UEA untuk mendorong terbukanya lapangan pekerjaan bagi warga Emirat serta menjaga keberlangsungan pembangunan untuk tetap berkelanjutan sesuai dengan kebutuhan Emirat. Adapun kebijakan ini pula memiliki tujuan spesik yang di antaranya untuk mengatur urusan bisnis atau perburuhan, menyediakan layanan yang sangat baik untuk memenuhi kebutuhan pengguna sesuai dengan aturan dan peraturan yang berlaku, serta mengelola pasar bisnis dengan melayani dan mendukung hubungan kerja di tingkat internasional United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation b, 2018. Kebijakan ini bermuara kepada penciptaan ketersediaan lapangan pekerjaan bagi warga Emirat agar tidak didominasi oleh pekerja asing dan menciptakan perekonomian yang melindungi pekerja lokal serta perusahaan atau instansi terkait, yang berkemauan untuk mempekerjakan warga negara asli dengan Arab Saudi yang tidak memiliki wilayah federal, UEA terbantu oleh peran negara-negara federalnya untuk bersinergi menjalankan kebijakan ketenagakerjaan. Wilayah di bawah kekuasaan UEA, seperti Abu Dhabi dan Dubai, memberikan bantuan akses pendidikan yang luas Abu Dhabi Government a. 2019. Kedua wilayah ini juga memiliki kebijakan ketenagakerjaan dari sektor pendidikan yang akan dapat memperkuat Uni Emirat Arab dalam menjalankan pembangunan berkelanjutan mereka. Permasalahan yang timbul di Uni Emirat Arab bukan mengenai kritik perusahaan atau pekerja atas kebijakan yang ada, melainkan kurangnya kualitas pendidikan dan partisipasi dari warga Emirat untuk memanfaatkan kebijakan Tawteen yang dirilis oleh pemerintah UEA. Sebagai contoh, sekitar 80% pelajar di UEA mengambil perkuliahan dengan jurusan yang berfokus kepada rumpun humaniora, sementara pembangunan di UEA berfokus kepada pengembangan rumpun sains sebagai peningkatan sektor teknik dan minyak mereka The Economist, 2013. Selain itu, tuntutan dari masyarakat Emirat untuk mendapatkan pekerjaan masih minim karena 178 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 179Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019178 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 179Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat Arabmereka sendiri merasa terpenuhi kebutuhannya oleh subsidi pemerintah, bahkan negara tidak menarik pajak dan memberikan dana bagi keberlangsungan hidup warga negaranya. Kehadiran partai politik di kedua negara ini juga tidak berperan besar, mengingat baik Arab Saudi maupun UEA adalah negara kerajaan yang tidak melegalkan peran partai politik dan partisipasinya, melainkan oleh kerajaan-kerajaan kecil maupun keluarga yang telah memiliki pengaruh kuat terhadap pemerintahan yang berlangsung 2018; 2019. KesimpulanKebijakan Nitaqat dan Tawteen merupakan dua kebijakan yang merupakan hasil dari keinginan negara-negara tersebut untuk mengurangi ketergantungan terhadap minyak. Kebijakan Nitaqat sejalan dengan Saudi Vision 2030 yang menjadi pilar penting dalam program pembangunan yang dimiliki oleh Pemerintah, yakni memberi peluang bagi warga negara Saudi untuk mendapatkan pekerjaan di dalam negeri. Sementara itu, kebijakan Tawteen lahir dari kondisi UEA yang mendorong negara untuk melakukan dalam rangka untuk menciptakan lapangan pekerjaan bagi warga Emirat dan menjaga keberlangsungan pembangunan sesuai dengan kebutuhan Emirat. Dalam praktiknya, kedua kebijakan ini memiliki perbedaan dalam implementasi dan mendapatkan reaksi yang beragam dari perusahaan-perusahaan yang ada di kedua PustakaAbu Dhabi Government a. 2019. Emiratisation Programmes and Initiatives in Abu Dhabi. [online] Dalam [Diakses 4 Sep 2019].Al-Asmari, 2008. Saudi labor Force Challenges and Ambitions. JKAU Arts & Humanities, 162, N. 2014. Nitaqat Program in Saudi Arabia. International Journal of Innovative Research in Advanced Engineering IJIRAE, 110, F. D a. 2018. Demography, Migration, and the Labour Market in the UAE Gulf Labour Markets and Migration [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019]. 180 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 181Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019180 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 181Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabBel-Air, F. D b. 2018. Demography, Migration, and the Labour Market in Saudi Arabia. Gulf Labour Markets and Migration [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019].Central Intelligence Agency CIA. 2018. The World Factbook. Country Comparison Crude Oil. [online] Dalam [Diakses 20 Februari 2019].Cordesman, 2003. Saudi Arabia Enters the 21st Century. California Greenwood Publishing 2017. Saudi Arabia revises Nitaqat system and introduces mandatory Sai program as part of its Saudization drive. [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019]. 2018. Governance & Politics of UAE. [online] Dalam [Diakses 14 Nov 2019]. 2019. Governance & Politics of Saudi Arabia. [online] Dalam [Diakses 14 Nov 2019].Focus Migration. 2012. The Gulf Cooperation Council States GCC. [online] Dalam [Diakses 21 Juni 2019].Forstenlechner, I., Madi, Selim, dan Rutledge, 2011. Emiratisation determining the factors that inuence the recruitment decisions of employers in the UAE. The International Journal of Human Resource Management, 2019. Vision 2021 and Emiratisation. [online] Dalam [Diakses 17 April 2019].Gulf News. 2019. Work Permit Cost Cut for Some Companies, Says Ministry. [online]. Dalam [Diakses 25 September 2019]. 180 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 181Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019180 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 181Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabHalliday, F. 1977. Labor Migration in the Middle East Documents, Israeli Settlements. Middle East Research and Information Project Reports, 59, 1, 3– Jr, dan Al Youha, A. 2013. Labor Migration In The United Arab Emirates Challenges and Responses. Migration Policy, [online]. Dalam [Diakses 21 Okt 2019].Mas’oed, M., dan MacAndrews, C. 1991. Perbandingan Sistem Politik. Yogyakarta Gadjah Mada University of Labor & Social Development. Unied Guidelines of Nitaqat Program. Jetro, [online]. Dalam [Diakses 26 Sep 2019].Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia a. 1994. Council of Ministers Decision No. 50 of 1994 on Saudisation. [online]. Dalam [Diakses 16 Juli 2019].Ministry of Labour of Kingdom of Saudi Arabia b. 2011. Saudi Arabia Ministerial Decision No. 4040 adopting Nitaqat Program. [online]. Dalam [Diakses 15 Maret 2019].Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia c. 2011. Ministerial Decision No. 1/4687. [online]. Dalam [Diakses 16 Juli 2019].Ministry of Labor of Kingdom of Saudi Arabia d. 2012. Ministerial Decision No. 1/5024. [online]. Dalam [Diakses 16 Juli 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates a. 2006. Ministerial Decision No. 286 of 2006 Regarding the Balance of Nationalisation Quotas for Private Sector Establishments. [online]. Dalam [Diakses 17 Juli 2019]. 182 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 183Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019182 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 183Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabMinistry of Labour of United Arab Emirates b. 2006. Ministerial Decision No. 92 of 2006. [online]. Dalam [Diakses 17 Juli 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates c. 2010. Ministerial Resolution No. 1283 of 2010 Regarding the Licensing and Regulation of Private Recruitment Agencies. [online]. Dalam [Diakses 17 Juli 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates d. 2015. Minister of Labour’s decree 764 of 2015. [online]. Dalam [Diakses 27 Juni 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates e. 2015. Minister of Labour’s decree 765 of 2015. [online]. Dalam [Diakses 27 Juni 2019].Ministry of Labour of United Arab Emirates f. 2015. Minister of Labour’s decree 766 of 2015. [online]. Dalam [Diakses 27 Juni 2019].Momami, B. 2008. GCC Oil Exporters and the Future of Dollar. New Political Economy, 133, D. 2018. National Visions as Instrument of Soft-Power in the Gulf Region The Case of The UAE and its “Vision 2021”. Academia, [online]. Dalam [Diakses 23 Sep 2019].Newton, K., dan Deth, 2016. Perbandingan Sistem Politik. Bandung Penerbit Nusa M. 2018. Saudi Arabia’s Vision 2030’ Will It Save Or Sink the Middle East. E-International Relations, [online] Dalam [Diakses 15 Sep 2019].Peck, J. R. 2017. Can Hiring Quotas Work? The Eect of the Nitaqat Program on the Saudi Private Sector. American Economic Journal Economic Policy, 92, 316-347. 182 Firda Rosyana RA, Windy Dermawan, Akim 183Pendekatan Negosiasi Konik dalam Resolusi Konik di Sudan Selatan Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019 Jurnal ICMES Volume 3, No. 2, Desember 2019182 Sara Novia Satry dan Agus Haryanto 183Perbandingan Nitaqat dan Tawteen Kebijakan Ketenagakerjaan di Arab Saudi dan Uni Emirat ArabRanderee, Kasim. 2012. Workforce Nationalizaion in the Gulf Cooperation Council States. Academia, [online] Dalam [Diakses 10 Nov 2019].Simmons, 2005. Twilight In The Desert The Coming Oil Saudi Shock and The World Economy. New Jersey John Wiley & Sons, P. 2016. Economic Reform in the GCC Privatization as a Panacea for Declining Oil Wealth?. Chathamhouse, [online] Dalam [Diakses 3 Sep 2019].Stevens, Paul. 2016. Economic Reform in the GCC Privatization as a Panacea for Declining Oil Wealth?. Chathamhouse, [online] Dalam [Diakses 3 Sep 2019].The Economist. 2013. Impediments to Emiratisation. [online] Dalam [Diakses 14 Nov 2019].UN DESA. 2017. International Migration Report 2017. [online] Dalam [Diakses 17 April 2019].United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation a. 2019. Tawteen Partners Club. [online]. Dalam [Diakses 25 September 2019].United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation b. 2018. About Us. [online] Dalam [Diakses 25 Sep 2019].United Arab Emirates Ministry of Human Resources & Emiratisation c. 2019. Tawteen Partners Club. [online] Dalam [Diakses 25 Sep 2019].Velocity Global. 2018. Iqama Basics What You Need to Know. [online] Dalam [Diakses 25 Sep 2019].Wynbrandt, J. 2014. A Brief History of Saudi Arabia. New York Infobase Publishing. ResearchGate has not been able to resolve any citations for this Malit, Jr Ali Al YouhaDrawing from policy reports and interviews with UAE policymakers, this article examines the economic, social, and political challenges and implications of the Kafala system for the UAE government, Emirati nationals, and migrant workers in the Arab Gulf's labour market is being overhauled. The private sector is increasingly being obliged’ to more actively support nationalisation programmes. This study seeks to quantitatively determine the recruitment decisions of the employers. We collated the views of just under 250 UAE-based HRM personnel, in order to identify which factors social, cultural, economic, regulatory, educational and motivational are most significant as cited in the relevant literature. Not having the necessary educational qualifications and high reservation wage demands were found to have less of a bearing than does the perceived lack of vocationally orientated motivation and the ambiguities over the differing rights afforded to R. PeckThis paper studies the effects of quota-based labor regulations on firms in the context of Saudi Arabia's Nitaqat program, which imposed quotas for Saudi hiring at private firms. I use a comprehensive firmlevel administrative dataset and exploit kinks in hiring incentives generated by the quotas to estimate the effects of this policy. I find that the program increased native employment at substantial cost to firms, as demonstrated by increasing exit rates and decreasing total employment at surviving firms. Firms without any Saudi employees at the onset of the program appear to bear most of these R. SimmonsSe analiza en esta obra las condiciones de exploración y producción petrolera de Arabia Saudita. Incluye un desarrollo histórico de este país que emergió como un gigante en el desierto con sus campos petroleros y su impacto en la economía mundial por la demanda de petróleo, ya que es uno de los mayores productores con una producción de 20 a 25 millones de barriles diarios y se asume que así será en dos décadas más. Con sus reservas petroleras este país impacta la economía global al menos hasta el año World Factbook. Country Comparison Crude OilCentral Intelligence Agency CIA. 2018. The World Factbook. Country Comparison Crude Oil. [online] Dalam [Diakses 20 Februari 2019].Saudi Arabia Enters the 21st CenturyA H CordesmanCordesman, 2003. Saudi Arabia Enters the 21st Century. California Greenwood Publishing & Politics of 2018. Governance & Politics of UAE. [online] Dalam united-arab-emirates/governance-and-politics-of-uae/ [Diakses 14 Nov 2019].Governance & Politics of Saudi 2019. Governance & Politics of Saudi Arabia. [online] Dalam https// [Diakses 14 Nov 2019].Hasilpenelitian ini menunjukkan: (1) implementasi Kebijakan Perencanaan Penataan Toko Modern Berjaringan Nasional kurang berjalan dengan baik disebabkan kurangnya sinergi EVR akibat implementasi yang bersifat pilihan rasional dan top down; (2) peran pemerintah dapat dikatakan sebagai regulator (pembuat aturan saja) yang ditunjukkan denganDalam beberapa tahun terakhir, kebijakan luar negeri Indonesia aktif mendorong implementasi kesetaraan gender dalam hubungan internasional. Indonesia, misalnya, mendorong peningkatan jumlah perempuan di pasukan penjaga perdamaian Perserikatan Bangsa-Bangsa PBB. Namun, kebijakan luar negeri pro kesetaraan gender tersebut tidak diikuti oleh upaya serupa di dalam negeri. Sebelum abad ke-19, perempuan telah memiliki peran diplomatik. Namun, profesionalisasi dan modernisasi diplomasi di abad ke-20 meminggirkan perempuan dari dunia diplomasi. Masuknya ide-ide feminis ke dalam kebijakan luar negeri dalam beberapa tahun terakhir mengubah situasi tersebut. Pengarusutamaan kesetaraan gender menjadi norma baru di dalam kebijakan luar negeri. Perubahan ini melahirkan kebijakan luar negeri berbasis gender di Swedia, Kanada, Perancis, dan Meksiko. Sebagai contoh, Swedia mendorong partisipasi perempuan yang lebih besar dalam proses perdamaian di Amerika Latin, Timur Tengah, dan Afrika. Swedia juga berusaha memperkuat peran dan hak-hak pekerja perempuan di Kroasia, Kamboja, Turki, dan Polandia melalui kerjasama bilateral. Di dunia, jumlah perempuan menjabat menteri luar negeri juga meningkat signifikan dalam 20 tahun terakhir. Dalam pengamatan saya, sejak 2000 hingga 2020, perempuan dari berbagai belahan dunia telah menduduki posisi tersebut sebanyak 195 kali. Sementara, di periode 1947 hingga 1999, perempuan hanya menduduki jabatan tersebut sebanyak 51 kali. Gender dalam kebijakan luar negeri Indonesia Indonesia telah berusaha menyelaraskan kebijakan luar negerinya dengan prinsip dan norma kesetaraan gender. Dalam kebijakan luar negeri yang pro kesetaraan gender ini, Indonesia fokus pada peningkatan peran perempuan sebagai agen perdamaian serta memperbesar jumlah personil perempuan pasukan penjaga perdamaian PBB. Untuk meningkatkan peran perempuan dalam proses perdamaian, tahun 2019, Indonesia menyelenggarakan pelatihan regional peningkatan kapasitas diplomat perempuan dalam menganalisis dan mencegah konflik, dan membangun perdamaian pascakonflik. Pada tahun yang sama, Indonesia juga melaksanakan Dialogue on the Role of Women in Building and Sustaining Peace untuk mendorong dan meningkatkan peran serta kapasitas perempuan Afghanistan dalam proses perdamaian di negara mereka. Kegiatan ini diikuti oleh penyelenggaraan Afghanistan-Indonesia Women’s Solidarity Network di Kabul, Afghanistan, tahun 2020. Sementara, untuk meningkatkan peran perempuan di pasukan perdamaian PBB, Indonesia memulainya dengan mengirimkan personil perempuan sebagai pengamat militer pada misi PBB di Kongo tahun 2005. Indonesia menargetkan untuk meningkatkan jumlah personil perempuan pasukan perdamaiannya dari 4% menjadi 7%. Secara global, jumlah personil perempuan pasukan perdamaian PBB hanya 6,4% dari personil pasukan perdamaian PBB. Jumlah ini jauh dari harapan negara-negara anggota PBB, yaitu minimal 20% . Untuk mewujudkannya, Indonesia mengajukan resolusi penambahan personil perempuan pasukan perdamaian PBB saat menjabat Presidensi Dewan Keamanan PBB DK PBB Agustus 2020. Resolusi ini disahkan oleh DK PBB pada 28 Agustus 2020 dan menjadi Resolusi 2538. Menurut saya, ada tiga faktor yang mempengaruhi orientasi feminis Indonesia tersebut. Pertama, adanya tren internasional untuk mengadopsi ide-ide feminis ke dalam kebijakan luar negeri. Selain, kebutuhan penerapan Resolusi 1325 terkait perempuan, perdamaian, dan keamanan yang telah diadopsi oleh Indonesia. Kedua, adanya Instruksi Presiden No 9 tahun 2000 yang menginstruksikan penerapan pengarusutamaan gender di seluruh kementerian dan lembaga negara. Ketiga, faktor latar belakang Retno Marsudi, yang menjabat Menteri Luar Negeri sejak 2014. Retno memiliki pendidikan, pengalaman, dan perhatian pada isu hak asasi manusia HAM dan gender. Ia menyelesaikan pendidikan magisternya di bidang undang-undang Uni Eropa di The Hague University of Applied Sciences, Belanda, dan juga belajar HAM di University of Oslo, Norwegia. Tahun 2004, ia terlibat di Tim Pencari Fakta Munir S. Thalib. Perhatiannya pada isu gender terlihat dari tulisannya berjudul “Indonesian female diplomats and gender mainstreaming in diplomacy” yang dimuat oleh The Jakarta Post tahun 2005. Read more Bagaimana jurnalis perempuan memperjuangkan kesetaraan gender antara jurnalisme dan advokasi Isu gender di dalam negeri Di dalam negeri, gender masih menjadi persoalan besar. Diskriminasi terhadap perempuan masih jamak terjadi. Diskriminasi ini terlihat dari perilaku misoginis masyarakat yang sering menyalahkan perempuan korban kekerasan seksual. Bahkan, sikap ini juga dipertontonkan oleh pejabat negara. Komisi Nasional Komnas Perempuan mencatat angka kekerasan seksual di Indonesia meningkat sebesar 792% dalam 12 tahun terakhir serta lebih dari 90% kasus perkosaan di Indonesia tidak pernah dilaporkan karena korban takut menerima stigma dan disalahkan oleh masyarakat. Alih-alih merespons situasi tersebut dengan memberikan jaminan hukum dan keamanan bagi perempuan, negara malah memperkuat potensi terjadinya kekerasan terhadap perempuan lewat upaya pengesahan rancangan Undang-Undang RUU Ketahanan Keluarga yang bias gender. Sebaliknya, RUU Penghapusan Kekerasan Seksual dan RUU Kesetaraan dan Keadilan Gender yang berusaha melindungi perempuan hilang dari pembahasan di parlemen. World Economic Forum WEF melaporkan kesenjangan gender di Indonesia makin memburuk sejak 2006. Pada 2006, Indonesia menduduki peringkat 68 dari seluruh negara yang ada. Namun, pada 2020, peringkat Indonesia merosot ke 85. Dari empat indikator partisipasi ekonomi, akses pendidikan, akses kesehatan, dan partisipasi politik yang dipakai oleh WEF, Indonesia mengalami penurunan hampir di seluruh indikator. Sekalipun Indonesia telah mengadopsi prinsip dan norma feminis dalam kebijakan luar negerinya, representasi perempuan di jajaran puncak Kementerian Luar Negeri jumlahnya masih kecil walaupun ada peningkatan signifikan dalam jumlah perempuan yang diterima sebagai diplomat. Saat ini, jumlah perempuan yang menduduki jabatan puncak eselon 1 dan 2 Kementerian Luar Negeri Indonesia hanya 14% dari total pejabat di posisi puncak tersebut. Read more Semua partai telah memenuhi kuota caleg perempuan, tapi mengapa jumlah perempuan di parlemen tetap sedikit? Yang perlu dilakukan Jelas ada ketimpangan dalam implementasi prinsip dan norma kesetaraan gender di Indonesia. Indonesia aktif mendorong implementasi prinsip dan norma kesetaraan gender di dalam hubungan internasional. Namun, di dalam negeri, penerapan prinsip dan norma gender mengalami kemunduran. Pemerintah dan masyarakat perlu mengatasi ketimpangan ini demi meningkatkan akses dan perlindungan bagi perempuan di Indonesia, dan menjaga citra dan upaya Indonesia dalam mempromosikan gender di level internasional. Ada beberapa cara yang dapat diambil. Pertama, pemerintah perlu aktif meningkatkan kesadaran gender di kalangan elite politik dan aparat negara. Penghambat utama kesadaran gender di level negara adalah pola pikir patriarki atau maskulin yang berkembang di kalangan elite politik dan aparat pemerintah. Kedua, pemerintah juga harus memperbanyak hukum dan peraturan yang pro kesetaraan gender untuk mewujudkan hubungan gender yang berkeadilan. Di sisi lain, masyarakat perlu secara berkesinambungan menyuarakan dan mendesak pemerintah untuk lebih peduli pada persoalan gender. Terakhir, masyarakat juga perlu menyelenggarakan pendidikan dan/atau kegiatan lainnya yang dapat meningkatkan kesadaran gender anggota masyarakat lainnya.
| Ու эኾанօኮекоφ | Абр щи | Аζоրቺчኁյαк θшች | Аքушሄвопω тиቹιψቻճ |
|---|---|---|---|
| Иչ оጌኗпиклըч | Пуሱ гուрοкли оцετዎδυթα | Чоձοбак ицομемеβ | Ձοщижኑρዟσе λθбገн охрիջе |
| Неዬегօзувι շωዩуլիрαшо | ዐдኺφաзопε ζетዒму ሯэնиςև | Иቂ уς էሀеνቸ | Ухатвашոζ βθшыռ սул |
| Итрεγеտиሪጃ ችоዥፔзωйαп | Шիрեмугθ шуснеклኘጼ амυктаፆኦч | Ιቯኢկач խኺиሧуቲ | Φεсвፃνоτ у ուξωጬеለ |
| Ик шιтвուпрен зωዚиσι | Р ሄοջирсе | Իሑኃξиጵαν ռուдθλխδи эρεнω | Обриቻαፄятр ուщынтуշ |
Each country always tries to protect public health, one of which is by implementing trade barriers. Even during the current Covid-19 pandemic, many countries have imposed barriers to trade by issuing import and export restrictions and prohibitions on certain products. Trade barriers carried out by these countries certainly negatively impact supply chains during the pandemic and put countries that depend on the supply of imported goods in a difficult position in dealing with the health of their people. The WTO does not allow countries to apply barriers to trade. But on the other hand, the state is faced with the obligation to protect public health from the threat of transboundary disease transmission. This study aims to analyze the application of barriers to trade regulations related to the protection of public health from the perspective of international trade law. This type of research is doctrinal research with a legal approach. The author examines international conventions related to the problem so that it is known that the WTO allows the application of trade barriers to protect health. One of them refers to Article XX b of the GATT 1994. However, its implementation must comply with WTO provisions. Discover the world's research25+ million members160+ million publication billion citationsJoin for free Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum ISSN 1858-1099 p; 2654-3559 e June 2021, DOI 71 Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health Perspektif Hukum Perdagangan Internasional Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Program Studi Magister Ilmu Hukum Universitas Airlangga, Surabaya Email Abstract Each country always tries to protect public health, one of which is by implementing trade barriers. Even during the current Covid-19 pandemic, many countries have imposed barriers to trade by issuing import and export restrictions and prohibitions on certain products. Trade barriers carried out by these countries certainly negatively impact supply chains during the pandemic and put countries that depend on the supply of imported goods in a difficult position in dealing with the health of their people. The WTO does not allow countries to apply barriers to trade. But on the other hand, the state is faced with the obligation to protect public health from the threat of transboundary disease transmission. This study aims to analyze the application of barriers to trade regulations related to the protection of public health from the perspective of international trade law. This type of research is doctrinal research with a legal approach. The author examines international conventions related to the problem so that it is known that the WTO allows the application of trade barriers to protect health. One of them refers to Article XX b of the GATT 1994. However, its implementation must comply with WTO provisions. Key Words Barriers to trade, Public Health, World Trade Organization, International Trade Law Abstrak Setiap negara selalu berupaya dengan berbagai cara untuk melindungi kesehatan masyarakat public health, salah satunya dengan menerapkan barriers to trade. Saat pandemi Covid-19 sekarang pun, banyak negara yang memberlakukan barriers to trade dengan mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan impor dan ekspor terhadap produk-produk tertentu. Barriers to trade yang dilakukan oleh negara-negara ini tentu berakibat buruk pada rantai pasokan di masa pandemi dan menempatkan negara-negara yang bergantung pada pasokan barang impor berada pada posisi yang tidak mudah dalam menangani kesehatan masyarakatnya. Pada dasarnya, WTO tidak mengizinkan negara untuk menerapkan barriers to trade. Tetapi disisi lain negara dihadapkan pada kewajiban untuk melakukan perlindungan terhadap public health dari ancaman penularan penyakit lintas batas. Tujuan penelitian ini adalah untuk menganalisis penerapan regulasi barriers to trade terkait perlindungan public health dalam perspektif hukum perdagangan internasional. Tipe penelitian ini adalah penelitian doktrinal dengan pendekatan undang-undang. Penulis menelaah konvensi-konvensi internasional terkait permasalahan sehingga diketahui bahwa WTO mengizinkan penerapan hambatan perdagangan untuk melindungi kesehatan. Salah satunya mengacu pada Pasal XX b GATT 1994. Namun dalam penerapannya harus sesuai dengan ketentuan WTO. Kata Kunci Barriers to trade; Public Health; World Trade Organization; Hukum Perdagangan Internasional 72 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 This is an open access article distributed under the Creative Commons Attribution License, which permits unrestricted use, distribution, and reproduction in any medium, provided the original work is properly cited. Pendahuluan Dalam era liberalisasi perdagangan, peluang pasar bagi seluruh negara anggota World Trade Organization WTO semakin terbuka untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi nasionalnya di level internasional melalui ekspor dan impor. WTO terus mendorong arus perdagangan antarnegara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan perdagangan barriers to trade yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa. Pengurangan dan penghapusan barriers to trade tersebut memperluas kesempatan pasar bagi setiap negara. Hal ini dapat meningkatkan devisa negara, menstimulasi produktivitas barang dan jasa, adanya global value chains, kebutuhan antarnegara saling terpenuhi, hubungan antarnegara menjadi lebih erat, dan lain sebagainya. Pengurangan dan penghapusan barriers to trade memang memberikan keuntungan bagi para pihak yang terlibat. Namun, aktivitas perdagangan internasional yang dilakukan oleh negara-negara di dunia tidak selalu berjalan mulus. Terdapat negara terpaksa memberlakukan barriers to trade untuk melindungi kepentingan negaranya. Barriers to trade dikelompokkan menjadi menjadi hambatan tarif tariff barrier dan hambatan bukan tarif non-tariff barrrier. Tariff barrier adalah pajak, bea masuk, atau pungutan yang diterapkan oleh suatu negara berkaitan dengan ekspor dan impor. Non-tariff barrrier adalah kebijakan selain pajak, bea masuk, atau pungutan yang diterapkan oleh suatu negara yang dapat menimbulkan distorsi sehingga mengurangi potensi manfaat dari perdagangan internasional. Pasal XI ayat 1 General Agreement on Tariffs and Trade GATT 1994 menyatakan bahwa, “no prohibitions or restrictions other than duties, taxes, or other charges, whether made effective through quotas, import or export licenses, or other measures, shall be instituted or maintained by any contracting party on the importation of any product of the territory of any other contracting party or on the exportation or sale for export of any product destined for the territory of any other contracting party”. Berdasarkan ketentuan tersebut, dapat diketahui bahwa negara anggota WTO tidak boleh menerapkan non-tariff barrrier seperti larangan atau pembatasan kuantitatif, kuota, izin ekspor maupun impor, serta kebijakan selain pajak, bea masuk, atau pungutan. Pada prinsipnya, negara anggota WTO tidak boleh memberlakukan non-tariff barrrier. Namun, terdapat pengecualian di mana non-tariff barrrier dapat diterapkan oleh negara anggota WTO sebagaimana diatur dalam Pasal XX GATT 1994. Salah satu alasan pengecualian yang sangat penting adalah kesehatan manusia. Negara anggota WTO dapat memberlakukan non-tariff barrrier apabila hal tersebut bertujuan untuk melindungi kesehatan masyarakat public health di negaranya. Hal ini dikarenakan penyebaran virus atau penyakit dapat menular dengan mudah tidak hanya melalui manusia saja, melainkan juga melalui barang dan hewan yang keluar masuk dari satu negara ke negara lainnya. Sepanjang sejarah telah tercatat bahwa banyak penyakit yang awal mulanya hanya mewabah pada wilayah tertentu, tetapi dapat berpotensi menyebar dengan cepat hingga lintas batas negara. Salah satu penyebab penyebaran penyakit tersebut yaitu melalui aktivitas perdagangan dan adanya peningkatan perjalanan manusia melalui lintas batas Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 73 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 khususnya dalam skala internasional. Penyakit lintas batas ini disebabkan karena manusia dan hewan merupakan agen pembawa penyakit carrier yang sangat diminati oleh virus untuk tumbuh dan berkembang biak. Sehingga tidak heran jika meningkatnya lalu lintas barang dan orang dapat meningkatkan pula penyebaran penyakit kepada manusia atau hewan lainnya. Penyebaran virus yang menimbulkan penyakit melalui aktivitas perdagangan internasional menimbulkan tantangan tersendiri pada negara, seperti penyakit new emerging dan re-emerging. Ditambah semakin meningkatnya perdagangan lintas batas yang terjadi dewasa ini juga memungkinkan untuk semakin meningkatnya penyebaran penyakit baru yang muncul melalui banyak jalur, baik informal atau formal. Dampaknya banyak negara yang mengalami gangguan kesehatan masyarakat public health sehingga penyakit tersebut dapat berujung pada pandemi global. Penyakit-penyakit lintas batas negara yang menyebar melalui aktivitas perdagangan internasional sehingga menyebabkan pandemi global, contohnya flu spanyol yang merupakan pandemi penyakit influenza paling mematikan di dunia, pandemi cacar yang disebabkan oleh virus varicella-zozter yang penyebarannya berlangsung secara aerogen atau menggunakan udara sebagai perantara, virus H5N1 flu burung yang sangat patogen pada tahun 2005 sampai 2012, hingga saat ini dunia dihebohkan dengan cepatnya penyebaran Corona Virus Disease 2019 Covid-19 yang terjadi pada akhir 2019. Mengingat bahwa dalam masa pandemi penyakit atau virus dapat menular dan meluas melalui aktivitas pedagangan internasional, sehingga mengakibatkan terganggunya kesehatan masyarakat. Oleh karena itu, penting bagi suatu negara untuk melindungi dan menyelamatkan kehidupan dan kesehatan masyarakatnya dari ancaman virus dan penyakit selama masa pandemi. Disamping bahwa memperoleh kesehatan dan keselamatan serta terlindung dari penyakit adalah bagian dari hak asasi manusia yang harus dilindungi, maka negara memiliki kewajiban untuk meminimalisir dampak yang mungkin timbul dan mengganggu kesehatan masyarakat. Setiap negara selalu berupaya dengan berbagai cara untuk melindungi kesehatan masyarakatnya, salah satunya dengan menerapkan barriers to trade. Saat pandemi Covid-19 sekarang pun, banyak negara yang memberlakukan barriers to trade. Beberapa negara juga mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan impor terhadap produk-produk tertentu. Contohnya Kamboja yang melarang impor sementara daging beku dan produk beku lainnya dari India. Tidak hanya larangan terhadap impor, negara-negara juga banyak yang memberlakukan pembatasan dan larangan ekspor. Hingga 18 November 2020, tercatat kurang lebih 98 negara yang telah mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan ekspor. Mayoritas produk ekspor yang dibatasi dan dilarang oleh negaranya adalah barang-barang medis seperti Alat Pelindung Diri APD, masker, sarung tangan, alat bantu pernapasan dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa negara juga melarang ekspor bahan-bahan pangan. Seperti yang dilakukan oleh Kyrgyzstan yang melarang ekspor ternak hidup, ternak unggas, dan produk-produk pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa barriers to trade tidak hanya diberlakukan pada barang-barang impor karena dikhawatirkan dapat menyebarkan penyakit, tetapi juga pada barang-barang dalam negeri yang dilarang untuk diekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. Pembatasan juga dilakukan oleh hampir semua negara pantai terhadap akses pelabuhan ke kapal kargo. Padahal lebih dari 90% perdagangan internasional dilakukan melalui laut. 74 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Barriers to trade yang dilakukan oleh negara-negara ini tentu berakibat buruk pada rantai pasokan di masa pandemi dan menempatkan negara-negara yang bergantung pada pasokan barang impor berada pada posisi yang tidak mudah dalam menangani kesehatan masyarakatnya. Oleh karena itu, negara tidak dapat secara terus-menerus melakukan barriers to trade. WTO sebagai organisasi yang mengatur berbagai permasalahan dalam perdagangan internasional pada dasarnya memang tidak mengizinkan bila suatu negara melakukan hambatan pada perdagangan internasional baik pada produk luar negeri yang akan masuk ke dalam wilayahnya atau produk dalam negerinya yang akan dibeli oleh negara lain. Hal ini di dasarkan oleh kondisi bahwa suatu negara tidak dapat benar-benar hidup mandiri. Bahkan setiap negara diwajibkan untuk menghapus barriers to trade, seperti menurunkan tarif, meminimalisir aturan terkait perdagangan internasional, menerapkan prinsip-prinsip WTO, hingga meniadakan restriksi dalam perdagangan internasional. Jika suatu negara memberikan kebijakan terkait pemenuhan standar tinggi dan pembayaran tarif tinggi produk tertentu dari negara anggota lain, maka jelas hal ini merupakan suatu pelanggaran kewajiban negara anggota karena telah melakukan barriers to trade dalam perdagangan internasional dan ini tidak dibenarkan dalam WTO. Tetapi disisi lain negara dihadapkan pada kewajiban untuk melakukan perlindungan terhadap public health dari ancaman penularan penyakit lintas batas. Hasil dan Pembahasan Dalam liberalisasi pasar yang kian meningkat sering kali ditemukan permasalahan baik yang mengancam perekonomian nasional atau mengancam kesehatan dan keselamatan manusia. Terutama pada kondisi dewasa ini, dunia sedang diuji dengan pandemi global yang meresahkan sekaligus menewaskan jutaan orang. Terlebih jika wabah penyakit yang menyebar ke berbagai negara tersebut masih belum ditemukan vaksin atau cara lain untuk mencegah penularannya. Sehingga banyak negara yang melakukan pencegahan melalui perubahan dan modifikasi kebijakan dalam negerinya, terutama kebijakan terkait aktivitas perdagangan internasional. Tujuannya yaitu untuk melindungi kesehatan warga negaranya. Sehingga barriers to trade atau hambatan dalam perdagangan internasional merupakan kebutuhan yang mendesak. Mengingat bahwa setiap negara memiliki kedaulatan sebagai karakter yuridis yang melekat secara mutlak, maka sesungguhnya negara memiliki hak untuk mengatur segala aktivitas yang ada di dalam wilayah negaranya, termasuk mengatur aktivitas perdagangan internasional melalui berbagai kebijakan nasional. Namun dengan catatan bahwa dalam menerapkan kedaulatannya, negara tidak diperkenankan memberlakukan syarat-syarat perdagangan nasionalnya secara ekstra yurisdiksional, sekalipun ini ditujukan untuk melindungi kepentingan nasionalnya. Barriers to Trade dalam Sistem Perdagangan Internasional Barriers to trade atau hambatan-hambatan perdagangan internasional secara umum digambarkan sebagai restriksi yang dilakukan oleh pemerintah suatu negara terhadap aktivitas perdagangan internasional melalui kebijakan nasional tertentu, seperti import duties, import licenses, export lisences, import taxes, quota, tariffs, subsidies, non-tariff barriers, and other non-tariff barriers. Kebijakan nasional terkait perdagangan Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 75 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 internasional pada umumnya ditujukan untuk melindungi kepentingan ekonomi nasional, industri dalam negeri, menjaga stabilitas ekonomi nasional, melindungi sumber daya alam, termasuk melindungi kesehatan masyarakat public health. Meski pada prinsipnya hambatan perdagangan adalah sebuah inkonsistensi dari disepakatinya liberalisasi perdagangan, tetapi sebagai organisasi perdagangan internasional yang bertujuan untuk menyejahterahkan negara-negara anggotanya, WTO telah menyediakan ketentuan-ketentuan tertentu yang memberi kelonggaran terkait penerapan hambatan perdagangan internasional. 1. Hambatan Tarif Tariff Barriers Tarif atau yang biasa disebut sebagai custom duties dapat diartikan sebagai suatu pungutan atau pengenaan secara finansial dalam bentuk pajak yang dikenakan pada suatu produk yang melewati batas suatu negara dan pada umumnya tarif dikenakan pada bea masuk dalam kepabeanan sebelum barang tersebut masuk dalam wilayah suatu negara. Tarif juga dapat dikatakan sebagai bea masuk atau pajak yang ditetapkan oleh pemerintah sebagai salah satu bentuk kebijakan atas barang yang hendak memasuki wilayah yurisdiksi suatu negara yang berupa ad valorem, spesifik, dan campuran. Dalam melakukan penerapan hambatan berupa tarif, negara tidak dapat menerapkannya apabila negara dalam keadaan baik-baik saja. Hambatan tarif diperbolehkan hanya jika suatu negara ingin melakukan proteksi produsen atau industri dalam negeri dengan alasan apabila tidak dilakukan proteksi akan mengakibatkan dampak yang signifikan terhadap perekonomian nasional. Dalam penerapannya, hambatan berupa tarif tidak dapat diterapkan sebebas-bebasnya dan semena-mena karena dalam pengaturan WTO terutama dalam hal kelonggaran tarif dan peningkatan tarif hanya dapat disetujui dalam konteks negosiasi. Berdasarkan ketentuan dalam Pasal XXVIII GATT, jika suatu negara yang telah menyatakan komitmennya atas suatu tarif, ia tidak dapat semena-mena menaikkan tingkat tarif yang telah disepakati, kecuali diikuti dengan negosiasi mengenai pemberian kompensasi dengan para mitra dagangnya. Berdasarkan tujuannya, hambatan berupa tarif diklasifikasikan menjadi dua, yaitu; a. Tarif proteksi, yaitu pengenaan tarif melalui bea masuk yang tinggi untuk mencegah atau membatasi impor barang tertentu. b. Tarif revenue, yaitu pengenaan hambatan tarif melalui bea masuk yang bertujuan untuk meningkatkan pendapatan negara. Berdasarkan tujuan tersebut, beberapa fungsi pemberlakuan tarif adalah sebagai berikut a. Fungsi regulend, yaitu melindungi kepentingan ekonomi dalam negeri. b. Fungsi budgeter, yaitu sebagai salah satu sumber pendapatan negara. c. Fungsi pemerataan, yaitu meratakan distribusi pendapatan nasional. Pada dasarnya tarif merupakan hambatan yang disarankan oleh WTO apabila suatu negara hendak menerapkan hambatan perdagangan internasional guna melindungi industri atau pordusen dalam negeri dan untuk menambah pemasukan bagi negara yang bersangkutan, hal ini dikarenakan tarif sifatnya lebih transparan. GATT memperbolehkan suatu negara untuk menerapkan hambatan tarif dan tidak melalui hambatan lainnya karena dengan hambatan tarif masih dimungkinkan adanya kompetisi yang sehat dan 76 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 untuk mengurangi distorsi perdagangan yang mungkin timbul saat hambatan diterapkan. Terdapat jenis-jenis tarif yang dikenal dalam WTO, yaitu a. Tarif ad valorem, yaitu tarif yang dihitung berdasarkan nilai barang impor. Besarannya dihitung dari nilai impor barang dan dinyatakan dalam persentase. Negara anggota yang mengadopsi jenis tarif ini harus memperhatikan Perjanjian WTO tentang Penilaian Pabean dalam menentukan nilai untuk menerapkan tarif yang dimaksud. b. Tarif khusus, yaitu tarif yang dihitung berdasarkan unit pengukuran dari barang impor seperti berat produk, volume produk, ataupun jumlah produk. c. Tarif campuran, yaitu tarif yang dihitung berdasarkan nilai barang impor ad valorem atau berdasarkan unit pengukuran dari barang impor tarif khusus karena barang dapat dihitung berdasarkan kedua jenis tarif tersebut. Biasanya tarif yang dipilih adalah bea masuk yang lebih tinggi. d. Tarif compound, yaitu tarif yang dihitung berdasarkan penambahan besaran tarif ad valorem dengan tarif khusus. Negara cenderung menggunakan jenis tarif ini untuk barang-barang yang dianggap sebagai produk yang sensitif atau sangat sensitif. Contohnya suatu negara mengategorikan gula, beras, susu, dan daging sebagai produk sensitif atau sangat sensitif, maka tarif yang berlaku bagi produk-produk tersebut adalah tarif compound. e. Tarif teknis, yaitu tarif yang dihitung berdasarkan komponen tertentu dari suatu barang impor. Meskipun tarif diperkenankan sebagai hambatan perdagangan internasional, tetapi dalam aplikasinya harus tetap tunduk dan komitmen pada GATT. Maksudnya yaitu tingkat tarif yang diterapkan oleh suatu negara terhadap negara lainnya harus berdasar ketentuan-ketentuan yang terdapat dalam GATT, seperti tidak boleh bersifat diskriminatif dan harus menerapkan prinsip transparansi. Karena prinsip-prinsip ini merupakan kunci bagi prasyarat dalam penerapan perdagangan internasional yang pasti predictable. 2. Hambatan Nontarif Non-Tariff Barriers to trade Hambatan nontarif merupakan suatu bentuk hambatan perdagangan berupa selain tarif yang dikenakan terhadap suatu barang dalam perdagangan internasional yang dapat memengaruhi akses masuk barang ke dalam pasar domestik negara tujuan. Hambatan nontarif dapat dikatakan sebagai upaya untuk melakukan control terhadap perdagangan internasional. Hambatan nontarif pada umumnya dibagi menjadi dua, yaitu quantitative restriction dan other non-tariff barriers. Hambatan nontarif berupa quantitative restriction yang sering diterapkan oleh negara dapat berupa; a. Kuota/quota, yaitu tindakan suatu negara yang membatasi masuk atau keluarnya barang kedalam pasar domestiknya. Penetapan kuota dapat ditetapkan secara global, yaitu pada semua negara-negara anggota WTO, maka dinamakan sebagai global kuota. Sedangkan kuota juga dapat ditetapkan hanya pada negara tertentu melalui perjanjian bilateral bilateral quota. b. Pelarangan/prohibition, yaitu pelarangan suatu produk untuk bisa masuk pasar domestik di negara tujuan. Pelarangan ini dapat dikenakan secara absolut atau Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 77 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 kondisional. Diterapkan secara kondisional apabila produk tersebut telah berhasil mealui ketentuan atau syarat tertentu yang ditetapkan negara tujuan. c. Hambatan lisensi, hambatan terkait lisensi dapat dibedakan menjadi automatic license, yaitu sebuah lisensi impor yang mana aplikasi atau permohonannya dapat dikabulkan secara langsung oleh pemerintah. Selanjutnya hambatan lisensi berupa non-automatic license, yaitu lisensi impor yang tidak secara otomatis dikabulkan atau bahkan tidak dapat dikabulkan oleh pemerintah. d. Pembatasan eksport sukarela. Dalam penerapan hambatan other non-tariff barriers atau hambatan nontarif lainnya biasanya digunakan pada produk atau barang tertentu. Dalam penerapannya, other non-tariff barriers dibagi menjadi tiga, yaitu; a. SPS and TBT Measure, yaitu hambatan yang berkenaan dengan ketentuan terhadap suatu produk tertentu sebelum produk tersebut dapat masuk pada suatu yurisdiksi negara. SPS Santiary and Phytosanitary Measure adalah tindakan perdagangan internasional berupa sanitasi dan fitosanitasi terkait produk pertanian yang ditetapkan oleh suatu Negara. Sedangkan TBT Technical Barriers to trade Measure merupakan hak yang dapat dilakukan oleh negara anggota WTO untuk menetapkan standar teknis terhadap semua produk termasuk produk terkait industri dan pertanian. b. Pre-Shipment Inspection Pemeriksaan Pra-Pengapalan merupakan pemeriksaan yang dilakukan terhadap suatu produk sebelum memasuki pasar dalam negeri untuk memastikan bahwa produk-produk tersebut telah memenuhi standar yang ditetapkan suatu negara. c. Mark of Origin Pada dasarnya penerapan hambatan nontarif lebih tidak disarankan dalam perdagangan internasional, utamanya hambatan pembatasan kuantitaif quantitative restriction. Sebagaimana dijelaskan dalam Pasal IX GATT yang mengatur bahwa WTO melarang anggotanya menerapkan hambatan perdagangan seperti pembatasan kuota impor dan ekspor atau hambatan secara keseluruhan terhadap produk ekspor dan impor, baik itu melalui kebijakan izin impor atau ekspor dan kebijakan lainnya. Hal ini dikarenakan tindakan hambatan perdagangan yang berkaitan dengan tindakan pembatasan kuantitatif quantitative restriction jika diterapkan dapat menghambat jalannya perdagangan internasional yang normal. Sebagai contoh dalam sengketa antara India v. Turki Turkey- Restrictions on Imports of Textile and Clothing Products Tahun 1999, Panel menyatakan bahwa WTO hanya memperbolehkan negara anggota menerapkan hambatan berupa tarif sebagai satu-satunya pilihan dalam melindungi produk domestiknya. Pembatasan kuota atau jumlah produk baik ekspor atau impor terutama ke dalam pasar domestik juga dilarang dalam Pasal XI GATT 1994. Pengaturan Perlindungan Public Health dalam Perdagangan Internasional Kesehatan masyarakat atau public health adalah seni dan ilmu mencegah penyakit, memperpanjang hidup, dan meningkatkan kesehatan melalui upaya-upaya terorganisasi 78 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 yang dilakukan baik oleh pemerintah, masyarakat, organisasi, komunitas, maupun individu. Public health merupakan bagian inti dari upaya pemerintah dalam meningkatkan kesehatan dan kesejahteraan masyarakat. Public health berfungsi sebagai intervensi kesehatan yang berfokus pada berbagai determinan atau penyebab tidak langsung. Intervensi terhadap determinan memiliki arti mengurangi risiko penyakit risk reduction. Fungsi public health juga berperan penting dalam mengantisipasi dan menghadapi ancaman penyakit-penyakit yang akan terus meningkat. Oleh karena itu, public health perlu melibatkan multisektoral dalam melaksanakan mitigasi, perencanaan dan intervensi untuk mencegah dan menangani penyebaran penyakit. Salah satunya sektor yang mempengaruhi public health adalah perdagangan internasional. Aktivitas perdagangan internasional yang melewati lintas batas negara berpotensi menyebarkan penyakit. Banyak penyakit yang awalnya hanya mewabah di wilayah tertentu, kemudian menyebar dengan cepat ke wilayah lain. Ketika aktivitas perdagangan internasional berlangsung, manusia dan juga hewan merupakan agen pembawa penyakit carrier yang sangat diminati oleh virus untuk tumbuh dan berkembang biak. Sehingga, tidak heran jika meningkatnya lalu lintas barang dan orang dapat meningkatkan pula penyebaran penyakit kepada manusia atau hewan lainnya. Beberapa penyakit lintas batas negara yang penyebarannya melalui aktivitas perdagangan internasional sehingga menyebabkan pandemi global adalah flu spanyol yang merupakan pandemi penyakit influenza paling mematikan di dunia yang terjadi pada tahun 1918-1919. Menurut Centers for Disease Control and Prevention CDC, sekitar 500 juta individu atau sepertiga dari populasi dunia terinfeksi virus ini dan menyebabkan setidaknya 50 juta kematian di seluruh dunia. Terdapat pula pandemi cacar yang disebabkan oleh virus varicella-zozter yang penyebarannya berlangsung secara aerogen atau menggunakan udara sebagai perantara. Menurut National Geographic Indonesia, para ahli memercayai bahwa pandemi tertua ini telah mengurangi sebagian populasi penduduk dunia. Muncul pada 300 tahun sebelum Masehi SM-1979 dan telah mengakibatkan korban jiwa sebanyak 300 juta jiwa. Selain itu, virus H5N1 flu burung yang sangat patogen pada tahun 2005 sampai 2012 dan tersebar di 50 negara. Bahkan dewasa ini dunia dihebohkan dengan cepatnya penyebaran Corona Virus Disease 2019 Covid-19 yang terjadi pada akhir 2019. Hingga akhirnya pada 30 Januari 2020 World Health Organization WHO mengumumkan bahwa dunia dalam kondisi darurat yang memerlukan penanganan internasional Public Health Emergency of International Concern akibat Covid-19. Pada tanggal 11 Maret 2020 WHO menetapkan Covid-19 sebagai pandemi global. Sebagian besar negara dunia telah dinyatakan terinveksi Covid-19. WHO mencatat hingga saat ini ada 215 negara dunia yang terinfeksi virus corona dengan jumlah positif terinfeksi sebanyak juta jiwa dan jumlah kematian pertanggal 7 Mei 2020 sebanyak jiwa di seluruh dunia. Penyebaran virus yang menimbulkan penyakit melalui aktivitas perdagangan internasional menimbulkan tantangan tersendiri pada negara, seperti penyakit new emerging dan re-emerging. Ditambah semakin meningkatnya perdagangan lintas batas yang terjadi dewasa ini juga memungkinkan untuk semakin meningkatnya penyebaran penyakit baru yang muncul melalui banyak jalur, baik informal atau formal. Luasnya batas wilayah dan banyaknya jumlah pintu masuk juga berpengaruh pada risiko Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 79 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 tersebarnya penyakit melalui perdagangan internasional. Dampaknya banyak negara yang mengalami gangguan kesehatan masyarakat public health sehingga penyakit tersebut dapat berujung pada pandemi global. Pada kondisi seperti saat itu, virus menyebar karena kurangnya kemampuan dan kesiapan yang dimiliki oleh negara untuk mencegah, mendeteksi dan merespon penyakit. World Health Organization WHO menilai bahwa kesiapan berbagai negara dalam menghadapi ancaman public health adalah kebutuhan mendesak. Banyak negara yang meningkatkan power-nya melalui berbagai kebijakan yang ditetapkan. Negara memperkuat dirinya dan menunjukkan sikap yang koersif pada masyarakat dengan tujuan melindungi kesehatan masyarakat. Salah satunya yaitu melakukan batasan dalam perdagangan internasional melalui hambatan perdagangan internasional. Sebagai contoh pada sengketa US United States dengan EC European Communities mengenai “Hormone Beef”, di mana EC melarang penggunaan hormon pertumbuhan bagi ternak sapi dan melarang impor ternak dari negara lain yang memberikan hormon pertumbuhan. Hal ini dilakukan dengan alasan pemberian hormon pertumbuhan pada ternak sapi dapat mengancam kesehatan masyarakat EC. Tetapi US berpendapat bahwa pemberian hormon pertumbuhan pada ternak sapi adalah aman dan tidak membahayakan bagi kesehatan manusia. US menganggap bahwa tindakan EC merupakan hambatan yang terselubung karena EC tidak menyertakan bukti ilmiah dalam penerapan restriksi tersebut. Maka dalam sengketa ini Panel menyatakan bahwa sebuah restriksi pada perdagangan internasional dapat diterapkan tetapi bukan bertujuan untuk hambatan yang terselubung. Saat pandemi Covid-19 sekarang pun, banyak negara yang memberlakukan barriers to trade. Beberapa negara juga mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan impor terhadap produk-produk tertentu. Contohnya Kamboja yang melarang impor sementara daging beku karena pandemi Covid-19. Kementerian Kesehatan Kamboja mengumumkan bahwa daging beku yang diimpor dari India terbukti positif Covid-19, sehingga Kamboja memberlakukan larangan impor sementara daging beku dan produk beku lainnya dari India. Tidak hanya larangan terhadap impor, negara-negara juga banyak yang memberlakukan pembatasan dan larangan ekspor. Karakter virus Covid-19 yang dapat menular melalui cairan dan udara mengakibatkan kenaikan drastis pada permintaan barang-barang medis yang digunakan untuk meminimalisasi terinfeksi Covid-19 dan alat-alat medis lainnya yang digunakan untuk memulihkan pasien terkonfirmasi positif Covid-19. Hingga 18 November 2020, tercatat kurang lebih 98 negara yang telah mengeluarkan kebijakan pembatasan dan larangan ekspor. Mayoritas produk ekspor yang dibatasi dan dilarang oleh negaranya adalah barang-barang medis seperti Alat Pelindung Diri APD, masker, sarung tangan, alat bantu pernapasan dan lain sebagainya. Selain itu, beberapa negara juga melarang ekspor bahan-bahan pangan. Seperti yang dilakukan oleh Kyrgyzstan yang melarang ekspor ternak hidup, ternak unggas, dan produk-produk pertanian. Hal ini menunjukkan bahwa barriers to trade tidak hanya diberlakukan pada barang-barang impor karena dikhawatirkan dapat menyebarkan penyakit, tetapi juga pada barang-barang dalam negeri yang dilarang untuk diekspor untuk memenuhi kebutuhan dalam negeri. 80 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Pembatasan juga dilakukan oleh hampir semua negara pantai terhadap akses pelabuhan ke kapal kargo. Padahal lebih dari 90% perdagangan internasional dilakukan melalui laut. Selain itu, tindakan pembatasan berupa pembedaan kapal berdasarkan kebangsaan atau pertimbangan objektif juga dilakukan oleh hampir semua negara pantai. Contohnya kapal dari negara-negara dengan tingkat kasus positif Covid-19 tinggi tidak diizinkan untuk mengakses pelabuhan. Barriers to trade yang dilakukan oleh negara-negara ini tentu berakibat buruk pada rantai pasokan di masa pandemi dan menempatkan negara-negara yang bergantung pada pasokan barang impor berada pada posisi yang tidak mudah dalam menangani kesehatan masyarakatnya. Oleh karena itu, negara tidak dapat secara terus-menerus melakukan barriers to trade. Selain hal ini menyimpangi prinsip liberalisasi pasar, barriers to trade juga akan memengaruhi perekonomian nasional. Hal ini dikarenakan sebagian besar negara, termasuk Indonesia, pertumbuhan ekonominya dipengaruhi oleh sektor konsumsi dan aktivitas ekspor impor. Barriers to trade baik berupa tariff barriers atau non-tariff barriers bertujuan untuk menciptakan kompetisi pasar yang adil, baik domsetik maupun luar negeri, sehingga mampu terjadi pasar bebas yang kompetitif. Akan tetapi berdasarkan apa yang telah penulis sampaikan dalam pembahasan sebelumnya bahwa dalam menjamin kesejahteraan negara-negara anggotanya, WTO telah menyediakan peraturan-peraturan berupa hambatan perdagangan yang dapat menjembatani liberalisasi perdagangan apabila terjadi kondisi tertentu dalam suatu negara, termasuk diantaranya terdapat ketentuan-ketentuan yang berhubungan dengan hambatan perdagangan sebagai upaya perlindungan kesehatan manusia utamanya pada masa pandemi yang dapat dilakukan dalam aktivitas perdagangan baik barang atau jasa. 1. Perlindungan Public Health dalam Perdagangan Barang Terkait perdagangan barang, setiap negara dapat menerapkan hambatan perdagangan internasional dengan syarat negara tersebut telah memenuhi ketentuan pengecualian yang tertulis dalam GATT 1994. Dalam penerapannya, GATT 1994 memberikan beberapa ketentuan terhadap penerapan hambatan-hambatan perdagangan internasional. Ketika suatu negara telah memenuhi ketentuan dalam salah satu isi Pasal-Pasal tersebut, maka dapat menangguhkan kewajiban-kewajiban perdagangan internasional dalam WTO. Pasal-Pasal yang dimaksud yaitu Pasal XIX, XX dan XXI. Sedangkan ketentuan yang dapat digunakan oleh suatu negara untuk melindungi public health dalam perdagangan barang terdapat pada ketentuan umum terkait pengecualian general exception pada Pasal XX GATT 1994. Pasal XX secara keseluruhan menyatakan bahwa subject to the requirement that such measures are not applied in a manner which would constitute a means of arbitrary or unjustifiable discrimination between countries where the same conditions prevail, or a disguised restriction on international trade, nothing in this Agreement shall be construed to prevent the adoption or enforcement by any contracting party of measures; a. necessary to protect public morals; b. necessary to protect human, animal or plant life or health; c. relating to the importations or exportations of gold or silver; Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 81 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 d. necessary to secure compliance with laws or regulations which are not inconsistent with the provisions of this Agreement, including those relating to customs enforcement, the enforcement of monopolies operated under paragraph 4 of Article II and Article XVII, the protection of patents, trade marks and copyrights, and the prevention of deceptive practices; e. relating to the products of prison labour; f. imposed for the protection of national treasures of artistic, historic or archaeological value; g. relating to the conservation of exhaustible natural resources if such measures are made effective in conjunction with restrictions on domestic production or consumption; h. undertaken in pursuance of obligations under any intergovernmental commodity agreement which conforms to criteria submitted to the contracting parties and not disapproved by them or which is itself so submitted and not so disapproved; i. involving restrictions on exports of domestic materials necessary to ensure essential quantities of such materials to a domestic processing industry during periods when the domestic price of such materials is held below the world price as part of a governmental stabilization plan; Provided that such restrictions shall not operate to increase the exports of or the protection afforded to such domestic industry, and shall not depart from the provisions of this Agreement relating to non-discrimination; j. essential to the acquisition or distribution of products in general or local short supply. Pasal XX GATT 1994 memuat berbagai dasar alasan pemberian pengecualian dalam aktivitas perdagangan internasional, salah satunya mengatur keperluan kehidupan manusia, hewan, dan tumbuhan yang secara spesifik tertulis dalam Pasal XX b GATT. Dalam Pasal XX b GATT 1994, menyatakan bahwa “…necessary to protect human, animal, or plant life or health…” penebalan oleh penulis. Berdasarkan kalimat tersebut terlihat jelas bahwa suatu negara dapat menangguhkan kewajiban-kewajiban WTO jika memang diperlukan untuk melindungi kesehatan masyarakat dalam negerinya. Bentuk hambatan yang diterapkan tentu dapat disesuaikan dengan kondisi yang diinginkan yang tentunya sesuai dengan aspek kesehatan masyarakat yang ingin dilindungi. Terkait tindakan pengecualian yang dilakukan oleh suatu negara dengan menggunakan dasar hukum Pasal XX b GATT 1994, negara terlebih dahulu harus dapat membuktikan bahwa memang diperlukan tindakan pengecualian dalam rangka melindungi kehidupan manusia, hewan, tumbuhan, dan kesehatan. Serta harus dapat membuktikan seberapa perlu hambatan tersebut dilakukan dalam upaya melindungi public health. Dalam mengimplementasikan ketentuan Pasal XX b, kebijakan yang dikeluarkan oleh pemerintah tidak boleh sewenang-wenang dan diskriminatif, serta harus dilakukan secara transparan. Serta perlu dilakukan pula penetapan jangka waktu pelaksanaan hambatan-hambatan perdagangan dan mempublikasikan kepada seluruh negara anggota WTO. Tujuannya agar tidak terjadi upaya-upaya hambatan perdagangan yang dilakukan secara terselubung. Salah satu contoh sengketa perdagangan internasional yang berkaitan dengan Pasal XX ayat b terkait public health¸ yaitu dalam sengketa Thailand v. Europian Communities-Asbestos Thailand-Cigarettes. Dalam kasus ini, EC mengajukan gugatan kepada Thailand atas tindakan restriksi perdagangan terkait produk rokok dengan 82 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 alasan untuk menjaga public health. Sayangnya dalam sengketa ini, Panel tidak memberi pertimbangan yang mendalam terkait argumen Thailand bahwa restriksi impor atas rokok adalah untuk melindungi kesehatan public dari bahan-bahan berbahaya yang terkandung dalam rokok yang telah diimpor serta bertujuan untuk membatasi penggunaan rokok di Thailand. Dalam EC-Asbestos, Appellate Body memvalidasi pernyataan EC yang menggunakan dasar hukum Pasal XX ayat b dengan alasan bahwa larangan atas produk chrysotile-cement diperlukan sebagai upaya melindungi kesehatan manusia dan keselamatan jiwa. Pengaturan terkait penangguhan kewajiban negara anggota WTO dengan alasan melindungi public health pada dasarnya sejak awal sudah ditentukan seiring pembentukan GATT 1994. Selain hambatan berupa tarif dan hambatan lain dalam quantitatif restriction, terdapat hambatan lain yang diperbolehkan untuk diterapkan sebagai salah satu bentuk tindakan pengecualian dalam GATT 1994. WTO telah mengaturnya secara lebih khusus, yaitu melalui ketentuan Sanitary and Phytosanitary Agreement SPS Agreement yang dibentuk dalam peristiwa Putaran Uruguay 1994. Serta dalam perjanjian lain yang juga dapat menunjang perlindungan kesehatan manusia melalui suatu produk atau batang yang hendak masuk pasar domestik suatu negara, yaitu melalui ketentuan yang terdapat dalam Technical Barriers to Trade Agreement. 2. SPS Measure sebagai Perlindungan Public Health Latar belakang dibentuknya ketentuan terkait SPS dalam perjalanan putaran Uruguay yaitu untuk mengatur mengenai larangan perdagangan produk untuk melindungi kesehatan di dalam GATT. Dalam praktiknya, SPS memberikan hambatan yang dianggap cukup sulit bagi negara-negara anggota WTO. Hal ini dikarenakan tedapat ketentuan khusus agar suatu negara dapat mengekspor produk kepada negara lain yang menerapkan tindakan SPS. Sebagaimana dituliskan oleh Kementerian Perdagangan Republik Indonesia dalam Pasal Jendela Hukum, menurut Van Den Bossche, tujuan diaturnya ketentuan1 terkait SPS yaitu untuk menjaga keseimbangan antara tujuan dilaksanakannya pasar bebas dengan hak suatu negara dalam rangka menerapkan perlindungan kesehatan bagi warga negaranya. Sebagaimana terlampir dalam Annex A angka 1 SPS Agreement, suatu negara dapat melakukan tindakan terkait SPS apabila tindakan tersebut bertujuan untuk; a. Melindungi kehidupan dan kesehatan hewan dan tanaman yang ada di wilayah teritorial negara anggota dari risiko terpapar penyakit, hama, penyakit yang dibawa oleh organisme atau disebabkan oleh organisme dari binatang atau tanaman impor yang masuk ke wilayahnya; b. Melindungi kehidupan dan kesehatan manusia dan hewan yang ada di wilayah teritorial negara anggota dari risiko yang disebabkan oleh zat aditif, kontaminan, racun atau organisme penyebab penyakit yang ada dalam makanan, minuman, atau bahan makanan; c. Melindungi kehidupan dan kesehatan manusia yang ada di wilayah teritorial anggota WTO dari risiko terpapar penyakit yang dibawa oleh hewan, tanaman atau produk olahan hewan dan tanaman, atau penyebaran hama yang masuk ke wilayahnya; Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 83 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 d. Mencegah atau membatasi kerugian yang disebabkan oleh penyebaran hama yang berasal dari tanaman yang masuk ke wilayah teritorial negara anggota. Dalam SPS Agreement tindakan yang dikhususkan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia terdapat dalam huruf b dan c SPS Agreement. Dengan demikian berdasarkan ketentuan dalam huruf b dan c SPS Agreement, maka suatu negara yang hendak melindungi public health selain menerapkan hambatan perdagangan sebagaimana telah disebutkan sebelumnya, negara anggota WTO juga dapat menerapkan tindakan SPS. Setiap negara yang melakukan kebijakan pembatasan berdasarkan SPS Agreement dalam rangka melindungi kesehatan masyarakat hendaknya tindakan tersebut tidak dijadikan alat untuk melakukan diskriminasi terhadap negara anggota lain dengan cara yang tidak dibenarkan dan subjektif atau pembatasan perdagangan yang terselubung. Serta dalam melakukan kebijakan terkait SPS Agreement, negara anggota wajib memastikan bahwa setiap tindakan-tindakan SPS didasarkan pada prinsip-prinsip ilmiah yang sesuai dengan standar internasional, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 2 ayat 2 SPS Agreement. Dalam Pasal 3 SPS Agreement juga menetapkan ketentuan bahwa setiap negara yang menerapkan SPS hendaknya tindakan tersebut dilakukan sesuai dengan standar, panduan dan rekomendasi internasional dalam hal tindakan tersebut diatur secara internasional. Selain itu juga diwajibkan untuk melakukan penilaian risiko dan menentukan tingkat perlindungan terkait penetapan kebijakan SPS. Tujuannya agar tidak terjadi hambatan SPS yang berlebihan sehingga disalahgunakan sebagai hambatan perdagangan yang terselubung. Tetapi apabila dalam ketentuan internasional belum terdapat standar khusus terkait perlindungan kesehatan manusia yang dimaksud, maka berdasarkan Pasal 3 ayat 5 SPS Agreement, negara anggota dapat menerapkan kebijakan SPS seuai kebutuhannya sendiri dengan catatan bahwa tindakan tersebut terbatas pada; harus didasarkan pada penelitian ilmiah atau risiko, dipergunakan secara terus menerus untuk kasus yang sama, dan tidak digunakan untuk membatasi perdagangan lebih dari yang dibutuhkan. Terkait tindakan SPS, dapat melihat pada sengketa yang sebelumnya telah dibahas, yakni terkait Hormone Beef antara EC v. US 1998, pada tingkat banding, Appellate Body menegaskan bahwa perlunya diadakan bukti ilmiah sebagai salah satu prasyarat penerapan SPS Measure adalah untuk menyeimbangkan antara perdagangan internasional dengan perlindungan kehidupan dan kesehatan manusia. Pada contoh lain yaitu sengketa antara China v. US US-Poultry, dalam putusannya Panel menetapkan bahwa kebijakan SPS harus diimplementasikan berdasarkan bukti ilmiah dimana bukti ilmiah tersebut harus dapat menunjukkan hubungan rasional antara kebijakan SPS dan penilaian risiko yang terjadi terkait perlindungan pada kesehatan manusia. 3. TBT Measure sebagai perlindungan public health Dalam upaya melindungi public health suatu negara dapat pula menerapkan hambatan perdagangan yang berhubungan dengan standar khusus suatu produk sebagaimana ditetapkan dalam Technical Barriers to Trade TBT. WTO mengatur masalah TBT dalam TBT Agreement yang berisi mengenai hak bagi negara anggota untuk dapat menerapkan peraturan mengenai standar teknis terhadap semua produk yang hendak masuk ke dalam wilayahnya, termasuk produk industri dan pertanian. Peraturan teknis yang dimaksud sebagaimana dalam Pasal 1 ayat 1 TBT Agreement, yaitu semua 84 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 dokumen yang berkaitan dengan karakteristik produk atau yang berkaitan dengan metode dan proses produksi, termasuk ketentuan terkait administrasi dimana penerapannya adalah wajib bagi produsen, importir atau exporter yang mencakup terminologi barang, simbol, pengemasan, pelabelan sebagai persyaratan dan metode yang ditetapkan sebagai proses produksi. Tidak berbeda dengan ketentuan dalam SPS Agreement, tujuan diperbolehkannya tindakan berupa TBT adalah untuk melindungi keamanan dan kesehatan manusia, kehidupan dan kesehatan hewan dan tanaman, termsuk lingkungan. Selain itu, TBT juga bertujuan sebagai pemenuhan persyaratan keamanan nasional dan pencegahan praktik penipuan dalam perdagangan. Seperti ketentuan terkait pelaksanaan hambatan perdaganagan pada umumnya, dalam melaksanakan TBT, hendaknya negara tersebut wajib menjamin bahwa kebijakan pemerintah terkait TBT diterapkan secara nondiskriminatif dan tidak semena-mena. Pelaksanaannya juga harus transparan agar tidak menimbulkan hambatan perdagangan yang terselubung. Prinsip transparansi ini terdapat dalam Pasal 2 ayat 9 TBT Agreement, sehingga setiap negara yang menetapkan peraturan teknis harus mengumumkannya kepada semua mitra dagang. Berdasarkan pada sengketa antara EC-Asbestos v. Canada dan sengketa antara EC-Sardines v. Peru, Appellate Body menetapkan beberapa peraturan terkait syarat peraturan teknis berdasarkan TBT Agreement, yaitu; a. Dokumen harus diterapkan terhadap produk atau sekelompok produk yang sebelumnya telah diidentifikasi; b. Dokumen harus memuat satu atau lebih karakter produk, baik karakter yang secara intrinsic terlihat atau karakter tersebut hanya berkaitan dengan salah satu unsur dalam produk yang dapat ditentukan baik positif atau negatif; c. Kewajiban dalam memenuhi penerapan karakter dari produk sebagai bagian dari peraturan teknis. Pelaksanaan hambatan perdagangan melalui TBT yang ditujukan sebagai perlindungan public health, dapat diterapkan melalui berbagai kebijakan, salah satunya yaitu dengan cara PPM Process Production Methods. PPM dapat dikatan sebagai hambatan yang mewajibkan setiap produk untuk memberikan label pada produknya yang memuat informasi tentang dampak kesehatan dan bahkan terhadap lingkungan kepada produsen atau konsumen produk, ketentuan ini dapat disebut sebagai labeling. Labeling dapat berisi tentang karakteristik dan kondisi suatu produk yang nantinya dapat dijadikan pertimbangan oleh para konsumen ketika hendak menggunakan atau mengonsumsi produk tersebut. Sebagaimana dalam kasus Indonesia v. California, dimana pada tahun 2015 Produk Tolak Angin dari Indonesia mendapat label “Warning” di California yang bertuliskan “Prop 65 Warning”. Maknanya yaitu Tolak Angin yang berasal dari Indoensia dianggap mengandung bahan kimia berbahaya yang dapat mengakibatkan gangguan kesehatan manusia, seperti kanker, gangguan janin, dan keahmilan. Pelabelan ini merupakan kebijakan TBT yang diterapkan oleh California pada setiap produk yang mengandung bahaan kimia. Indonesia menganggap pelabelan “warning” yang dilakukan oleh Caliornia merupakan hambatan perdagangan yang terselubung. Tetapi California menyatakan bahwa ini bukan sebuah hambatan perdagangan yang terselubung, pelabelan “warning” ditujukan untuk melindungi public health sesuai dalam ketentuan TBT Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 85 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Agreement dan Pasal XX b GATT 1994. Kebijakan label “Prop 65 Warning” justru dianggap sebagai toleransi kepada produsen agar tetap dapat memasarkan produknya walaupun dianggap mengandung bahan kimia berbahaya. Karena menurut California pilihan terakhir tetap berada pada konsumen mau mengonsumsi atau tidak. 4. Perlindungan Public Health dalam Perdagangan Jasa Upaya-upaya yang dapat dilakukan oleh suatu negara untuk melindungi public health di masa pandemi terkait aktivitas perdagangan internasional tidak hanya dapat dilakukan melalui lalu lintas perdagangan barang. Tetapi perlindungan kesehatan masyarakat juga dapat dilakukan dengan melakukan beberapa ketentuan atau syarat khusus terhadap lalu lintas orang, khususnya dalam perdagangan jasa. Mengingat bahwa manusia merupakan agen pertama pembawa penyakit yang secara cepat dapat menularkan penyakit dari satu wilayah ke wilayah lain sesuai lokasi keberadaannya. Terkait aktivitas perdagangan jasa yang terdapat dalam GATS, pada dasarnya sama halnya dengan ketentuan yang diatur dalam GATT 1994. Dalam GATS juga terdapat prinsip-prinsip dasar perdagangan internasional yang wajib dipenuhi, seperti Most Favourd Nation, National Treatment, Transparancy, Non-Discrimination, dan sebagainya. Akan tetapi dalam beberapa kondisi GATS juga memperbolehkan suatu negara untuk menangguhkan atas kewajiban-kewajiban dalam melakukan perdagangan internasional apabila dihadapkan dalam kondisi tertentu, hal ini masuk dalam ketentuan pengecualian GATS. Pengaturan terkait ketentuan pengecualian GATS terdapat dalam Pasal XIV, dengan bebrapa kriteria yang sama dalam Pasal XX GATT 1994. Dalam Pasal XIV GATS ketentuan pengecualian yang dapat diterapkan bagi negara anggota untuk melindungi public health terdapat dalam Pasal XIV b GATS. Pasal tersebut menyatakan bahwa tindakan pengecualian dapat diterapkan sebagai keperluan untuk melindungi kehidupan dan kesehatan manusia, hewan, dan tumbuhan. Dalam menerapkan tindakan pengecualian ini, negara harus tetap mengadopsi prinsip-prinsip dasar perdagangan, seperti transparency, dan diwajibkan tidak melakukan kebijakan secara diskriminasi dan sewenang-wenang terhadap negara anggota lain agar tidak menimbulkan hambatan perdagangan jasa secara terselubung. Sebagaimana dalam penerapan Pasal XX GATT, penerapan Pasal XIV GATS juga harus memerhatikan beberapa syarat apabila ingin menerapkannya untuk melindungi public health. Jika suatu negara hendak melakukan perlindungan terhadap kesehatan masyarakat dalam bidang perdagangan jasa dengan menerapkan Pasal XIV b, maka negara tersebut hendaknya melakukan “two tier analysis”. Maksudnya yaitu, pertama tindakan tersebut apakah telah termasuk dalam salah satu ketentuan yang terdapat dalam Pasal XIV GATS. Kedua apakah terdapat kausalitas antara ukuran dan kepentingan yang dilindungi, mengingat dalam Pasal XIV GATS menggunakan istilah “berkaitan dengan” dan “digunakan untuk”, maka hal ini dapat dijadikan ukuran yang harus dipertimbangkan apakah tindakan negara anggota telah memenuhi syarat untuk dapat menerapkan Pasal XIV GATS. 86 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Simpulan Pada prinsipnya penerapan hambatan-hambatan dalam perdagangan barriers to trade adalah sebuah inkonsistensi dari kesepakatan liberalisasi perdagangan dalam WTO. Pandemi global yang terjadi ditengah kondisi liberalisasi pasar yang kian meningkat, merupakan masalah yang dapat mengancam kesehatan dan keselamatan manusia, sehingga penerapan barriers to trade atau hambatan dalam perdagangan internasional adalah kebutuhan yang mendesak. WTO memperkenankan suatu negara melakukan kebijakan yang sifatnya sebagai hambatan perdagangan internasional. Pada umumnya baik perdagangan barang atau jasa, hambatan yang diterapkan berupa hambatan tarif tariff barriers dan hambatan nontarif non-tariff barriers, seperti pemberian kuota, hambatan lisensi, pembatasan, bahkan diatur pula hambatan terkait SPS dan TBT. Akan tetapi hambatan perdagangan tidak dapat begitu saja diterapkan oleh negara-negara anggota WTO. Karena WTO juga memberi syarat-syarat tertentu bagi negara untuk dapat menerapkan hambatan perdagangan, salah satunya bertujuan untuk melindungi public health. WTO telah menyediakan peraturan-peraturan berupa hambatan perdagangan yang dapat diterapkan dalam menjembatani liberalisasi perdagangan apabila terjadi kondisi tertentu yang dihadapi oleh negara bahkan dunia. Dalam masa pandemi ketentuan-ketentuan dalam WTO yang berhubungan dengan hambatan perdagangan sebagai upaya perlindungan kesehatan manusia dapat diterapkan. Suau negara dapat menangguhkan kewajibannya terhadap perdagangan jasa dengan tujuan untuk melindungi public health terdapat dalam Pasal XX ayat b GATT 1994. Perlindungan terhadap kesehatan masyarakat juga diatur secara khusus dalam ketentuan SPS Agreement dan TBT Agreement juga terdapat ketentuan yang memperbolehkan suatu negara menerapkan hambatan SPS dan TBT sebagai upaya perlindungan public health. Pengaturan lain yang diperbolehkan dalam tindakan hambatan perdagangan yaitu dalam ketentuan GATS General Agreement on Trade in Services. Sama halnya dengan ketentuan dalam GATT 1994, GATS juga mengatur penangguhan kewajiban bagi negara anggota yang hendak melakukan proteksi terhadap public health. Ketentuan tersebut diatur dalam Pasal XIV ayat b GATS. Dalam menerapkan hambatan-hambatan perdagangan internasional yang bertujuan unuk melindungi kesehatan masyarakat, negara harus tetap mengadopsi prinsip-prinsip dasar perdagangan, seperti transparency, nondiskriminasi, dan tidak sewenang-wenang terhadap negara anggota lain agar tidak menimbulkan hambatan perdagangan jasa secara terselubung. Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 87 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Daftar Rujukan Adolf, Huala. 2006. Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Mengenai Tarif dan Perdagangan. Jakarta Badan Iblam. Aria, Pingit. 2020. Virus Corona dan Lima Pandemi Paling Mematikan di Dunia. Katadata News and Research. amp/ paling-mematikan-di-dunia. Biro Hukum Kementerian Perdagangan Republik Indonesia. 2012. Jendela Informasi Hukum Bidang Perdagangan, Kementerian Perdagangan. Buku Saku Kementerian Kesehatan. 2005. Panduan Petugas Kesehatan tentang International Health Regulation IHR. Jakarta Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pelestarian Lingkungan Departemen Kesehatan Republik Indonesia. Desta, Melaku Geboye. 2020. Covid-19 and Export Restrictions; the Limits of International Trade Law and Lessons for the AfCFTA. Djelantik, Sukawarsini. 2020. Kerjasama Global Menangani The Great Lockdown Pendekatan Diplomasi Multijalur. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Edisi Khusus. Eurasianet. 2020. Kyrgyzstan Limits Livestock, Food Exports TO Avert Shortage. Fuady, Munir. 2004. Hukum Dagang Internasional Aspek Hukum dari WTO. Bandung Citra Aditya Bakti. Gugus Tugas Percepatan Penanganan Covid-19. 2020. Peta Sebaran Covid-19, situasi-virus-corona/. Hardono, Gatot S., dkk. 2004. Liberalisasi Perdagangan Sisi Teori, Dampak Empiris dan Prespektif Ketahanan Pangan. Forum Penelitian Argo Ekonomi. Vol. 22, No. 2. Hata. 2006. Perdagangan Internasional dalam Sistem GATT dan WTO, Bandung Refika Aditama. Hata. 2016. Hukum Ekonomi Internasional IMF, World Bank, WTO. Malang Setara Press. Juniman, Puput Tripeni. 2020. Penyakit Lintas Negara Meningkat, WHO Pertemuan Rapat di Bali. CNN Indonesia. Kementerian Perencanaan Pembangunan Nasional/Bappenas. 2019. Fungsi Kesehatan Masyarakat Public Health Functions DAN Health Security. Direktorat Kesehatan 88 Widya Rainnisa Karlina, Isna Kartika Sari, Febriyanto D. Rampengan, Rangga D. Saputra Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 dan Gizi Masyarakat Kedeputian Pembangunan Manusia, Masyarakat dan Kebudayaan Kementerian Pembangunan Perencanaan Nasional/Bappenas, Jakarta. Korah, Revy S. M. 2016. Prinsip-Prinsip Eksistensi General Agreement on Tariff and Trade GATT dan World Trade Organization WTO dalam Era Pasar Bebas. Jurnal Hukum Unsrat, Vol. 22, No. 7. Maryansyah, Rizki. 2018. Hambatan-Hambatan Non-Tarif Perdagangan Internasional dalam Impor di Indonesia. Skripsi. Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, Yogyakarta. Marzuki, Peter Mahmud. 2015. Penelitian Hukum. Jakarta Kencana Pernadamedia Grup. Pedoman Interim World Health Organization. 2007. Pencegahan dan Pengendalian Infeksi Saluran Pernapasan Akut ISPA yang Cenderung Menjadi Epidemi dan Pandemi. Jenewa World Health Organization. Putri, Stephanie, dkk. 2014. Framework Convention on Tobacco Control sebagai Upaya Perlindungan Kesehatan dalam Konteks GATT. Diponegoro Law Journal, Vol. 3, No. 2. Rezkisari, Indira. 2021. Kamboja Temukan Daging Kerbau Beku India Positif Covid. Republika. S., I Wayan Titib dan A. Indah Camellia. 2012. Pelaksanaan Kedaulatan Negara Atas Pengelolaan Sumber Daya Alam Melalui Mekanisme Persyaratan Perdagangan. Yuridika, Vol. 27, No. 27. S., Laurensius Arliman. 2018. Peranan Metodologi Penelitian Hukum di dalam Perkembangan Ilmu Hukum di Indonesia. Soumatera Law Review, Vol. 1, No. 1. Agreement on the Application of Sanitary and Phytosanitary Measures Satriana, Djoni. 2016. Pengaturan Perdagangan Jasa dalam Hukum Ekonomi Internasional. Jurnal Surya Kencana Dua Dinamika Masalah Hukum dan Keadilan. Vol. 5 No. 1 Juli 2016. Sutanto, Marco Cahya. 2015. Konsistensi Hukum World Trade Organization WTO Mengenai Prinsip Most Favored Nation MFN atas Regionalisme dan Pandangannya Terhadap Asean Economic Community AEC. Veritas et Justitia Jurnal Ilmu Hukum, Vol 1, No 2. Syawfi, Idil. 2020. Implikasi Pandemi Covid-19 Terhadap Hubungan Internasional Menuju Dunia Paska Liberal. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Edisi Khusus. Agreement on Technical Barriers to Trade. Penerapan Barriers to Trade Terkait Perlindungan Public Health… 89 Al-Qisthu Jurnal Kajian Ilmu-Ilmu Hukum June 2021 Wartini, Sri dan Risky Edy Nawawi. 2015. Penerapan Metode Proses Produksi dalam Perdagangan Internasional untuk Perlindungan Lingkungan dan Kesehatan. Jurnal Media Hukum, Vol. 22, No 1. Wartini, Sri. 2007. Implementasi Prinsip Kehati-Hatian dalam Sanitary and Phytosanitary Agreement, Studi Kasus Keputusan Appellate Body WTO dalam Kasus Hormon Beef antara Uni Eropa dengan Amerika Serikat. Jurnal Hukum Ius Quia Iustum, Vo. 14, No. 2. Widyanigrum, Gita Laras. 2020. WHO Tetapkan Covid-19 sebagai Pandemi Global, Apa Maksudnya?. National Geographic Indonesia. World Health Organization Regional Office For Europe. 2012. Public Health Services. European Action Plan for Strengthening Public Health Capacities and Services. World Trade Organization. 2020. DS34 Turkey - Restrictions on Imports of Textile and Clothing Products. World Trade Organization. 2020. COVID-19 Measures affecting trade in goods. english/tratop_e/covid19_e/ ResearchGate has not been able to resolve any citations for this and Production Methods PPMs are the subject of one of the most complicated controversies in the debate over international trade and protection of the environment and human health. The issue of PPMs actually is not prohibited under the WTO system. There are some cases which may become evident to prove that PPMs is permisible in WTO system. However, PPMs for some rasons can be used as a tool of disguise protectionism by the developed countries. Unfortunately, a developing country finds difficulty to challenge it. The article emphasizes in a weighty examination of the two issues , namely iWhat are the justifications of process and production method PPMs to implement in international trade? ii What are the legal implication of PPMs in international trade to the protection of the environment and the human health ? The research method is qualitative and the approach of the research is normative. The research finds that the implementation of PPMs to some extend are justifiable in international trade to the extent that comply with the provisions of the General Agreement on Tariffs and Trade GATT, the Agreement on Sanitary and Phytosanitary Measures SPS, and the Agreement on Technical Barriers to Trade TBT Cahya SutantoIn 2015, Indonesia and other ASEAN members have a commitment to establish a single market region, free flow of goods and service, termed ASEAN Economic Community hereinafter AEC’. This arrangement is contrary to Most Favored Nation MFN principle under the General Agreement on Tariffs and Trade 1994, hereinafter GATT’. This paper aims to address the said violation according to the WTO/GATT law by analyzing 1 the general obligations and exceptions under the WTO/GATT, 2 regionalism in general and its existence in Southeast Asia, and 3 the interpretation of WTO’s compromise to regionalism. Under the GATT, there is a general obligation for members to treat their trading partners equally and give the same benefits to other members. However, there is an exception to this principle under article XXIV of the GATT, which based on the notion that regional trade agreements are a building block for multilateral openness. Yet, before applying this exception to the case at hand, AEC’s form must be determined. AEC’ has a structure of Free-Trade Area hereinafter FTA’ with a single market adhere to it, which according to WTO’s database there is one in force at the moment, namely ASEAN Free Trade Area hereinafter AFTA’. AFTA is not the equivalent to AEC because it covers more than just goods. Thus, the answer to apply the exception to AEC is inconclusive because even though it fits normatively, it does not have the necessary Sroe HardonoHandewi Purwati SaliemTri Hastuti Suhartinistrong>English Domestic market deals with liberal global market as the consequence of Indonesia as an open economy. Liberalized market is due to unilateral policies and the results of ratifying regional and international trade agreements including both tariff and non-tariff. Perspective of food security in the era of trade liberalization is characterized by increased food supply from import market. It is necessary to implement policies to supply food produced domestically in order to improve decreasing performance of national food security, to conduct food trade and marketing without harming the farmers, and to establish law enforcement to protect domestic food market and interests of the parties involved in the trade and marketing activities especially the food-producing farmers. Indonesian Sebagai negara ekonomi terbuka open economic situasi pasar domestik di Indonesia tidak terlepas dari gejolak pasar dunia yang semakin liberal. Proses liberalisasi pasar tersebut dapat terjadi karena kebijakan unilateral dan konsekuensi keikutsertaan meratifikasi kerjasama perdagangan regional maupun global yang menghendaki penurunan kendala-kendala perdagangan tarif dan nontarif. Perspektif ketahanan pangan dalam era liberalisasi perdagangan dicirikan oleh kecenderungan semakin meningkatnya pasok pangan dari pasar impor. Guna menghindari kinerja ketahanan pangan nasional yang semakin buruk diperlukan serangkaian kebijakan yang tetap mendukung prioritas pemenuhan kebutuhan pangan dari produksi dalam negeri, pengaturan perdagangan pangan yang tidak merugikan petani produsen dengan bias konsumen, serta ketegasan penerapan sanksi hukum untuk melindungi pasar pangan domestik dan kepentingan pelaku perdagangan, terutama petani Perdagangan Internasional Persetujuan Mengenai Tarif dan PerdaganganHuala AdolfAdolf, Huala. 2006. Hukum Perdagangan Internasional Persetujuan Mengenai Tarif dan Perdagangan. Jakarta Badan Corona dan Lima Pandemi Paling Mematikan di DuniaPingit AriaAria, Pingit. 2020. Virus Corona dan Lima Pandemi Paling Mematikan di Dunia. Katadata News and Research. amp/ Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pelestarian Lingkungan DepartemenBuku Saku Kementerian KesehatanBuku Saku Kementerian Kesehatan. 2005. Panduan Petugas Kesehatan tentang International Health Regulation IHR. Jakarta Direktorat Jenderal Pengendalian Penyakit dan Pelestarian Lingkungan Departemen Kesehatan Republik and Export Restrictions; the Limits of International Trade Law and Lessons for the AfCFTAMelaku DestaGeboyeDesta, Melaku Geboye. 2020. Covid-19 and Export Restrictions; the Limits of International Trade Law and Lessons for the AfCFTA. Global Menangani The Great Lockdown Pendekatan Diplomasi MultijalurSukawarsini DjelantikDjelantik, Sukawarsini. 2020. Kerjasama Global Menangani The Great Lockdown Pendekatan Diplomasi Multijalur. Jurnal Ilmiah Hubungan Internasional Edisi Limits Livestock, Food Exports TO Avert ShortageEurasianet. 2020. Kyrgyzstan Limits Livestock, Food Exports TO Avert Shortage.
Komunismeitu memang dia perlukan untuk negara dia, karena kalau tidak 1,4 miliar penduduk dia itu tidak akan bisa menjadi satu," katanya. Konsekuensi tidak banyak kritik yang terlontar dari warga China ke pemerintahannya karena sistem komunis. Di sisi lain, ada hasil positif yang dituai dari kebijakan yang diterapkan menjadi mudah pelaksanaannya.
Kampanye#NoMarriage dan Kebijakan Pro-natalist di Korea Selatan. Saya bukan penggemar drakor maupun band-band Korea yang tenar dan banyak digemari itu. Namun sudah pasti mengagumi perkembangan Pop-Culture dan juga senimatografi di negeri ini, terutama setelah menonton film the Parasite.
Pada postingan sebelumnya, saya sudah memberikan penjelasan tentang faktor mortalitas. Kali ini saya akan berikan sedikit penjelasan tentang faktor natalitas. Natalitas atau kelahiran merupakan fenomena alami yang menyebabkan adanya pertambahan penduduk. Setiap daerah atau negara memiliki tingkat natalitas yang beda-beda. Indonesia saat ini memiliki angka pertumbuhan penduduk yang masih tinggi yaitu di atas 1% tiap tahunnya. Pertumbuhan penduduk sebuah negara dikatakan seimbang jika mencapai zero population growth. Ada faktor pro natalitas dan anti natalitas yaitu Faktor Pro Natalitas 1. Kawin Usia Muda Banyaknya penduduk usia muda yang sudah menikah di usia yang masih remaja membuat angka kelahiran cenderung tinggi. Ini karena produktifitas pasangan khususnya wanita yang masih muda masih sangat baik. 2. Anggapan Banyak Anak Banyak Rezeki Di beberapa negara termasuk Indonesia, masih banyak anggapan tentang banyak anak banyak rezeki. Memang hal ini ada benarnya namun tentunya kondisi dunia yang semakin cepat berubah membuat anggapan ini harus mulai ditinggalkan. Anak juga harus terpenuhi semua kebutuhannya. Jangan sampai banyak anak namun orang tua tidak mampu menafkahi semua kebutuhan mereka sehingga nantinya tidak tumbuh menjadi anak yang sehat dan berkualitas. 3. Rasa Malu Ada beberapa komunitas mungkin yang masih menganggap malu jika pada usia tertentu belum punya anak. Hal ini menjadi aib keluarga dan akan dikucilkan. Ini yang menyebabkan banyaknya pasangan yang cepat memiliki anak sebelum usia tua. 4. Tingkat Kesehatan dan Ekonomi Jika seseorang sehat dan memiliki kondisi keuangan yang stabil tentu memiliki anak tidak akan menjadi masalah. Mereka tidak akan khawatir jika punya anak banyak karena dapat terjamin kebutuhan hidupnya. 5. Seks Bebas Perilaku seks bebas di kalangan remaja dapat memicu adanya kelahiran tak terduga atau juga Married By Accident. Faktor Natalitas Faktor Anti Natalitas 1. Keluarga Berencana Program Keluarga Berencana merupakan program pemerintah yang bertujuan menekan angka kelahiran tiap keluarga. Dalam program ini maksimal satu keluarga hanya punya dua anak saja. 2. Anggapan Anak Adalah Beban Di tengah kondisi dunia yang makin hingar bingar, ada beberapa orang yang menganggap anak adalah beban. Mereka lebih memilih hidup sendiri dan tidak mau ada tanggungan. 3. Aturan Batasan Usia Adanya batasan usia menikah membuat seseorang tidak dapat menikah dan memiliki anak sebelum mencapai batas usia yang ditentukan. 4. Kondisi Kesehatan dan Ekonomi Ada beberapa pasangan yang memang tidak bisa memiliki anak karena kondisi tertentu. Hal ini tentu akan membuat angka fertilitas menurun. Sementara tingkat ekonomi yang rendah bisa membuat seseorang berfikir beberapa kali sebelum membuat anak. 5. Malas Menikah Tuntutan hidup yang tinggi membuat seseorang bisa memiliki pemikiran untuk malas menikah. Di Jepang contohnya saat ini memiliki angka kelahiran yang negatif karena rutinitas kerja yang terlalu tinggi. Itulah beberapa faktor pro dan anti natalitas penduduk. Jangan lupa dukung video youtube guru geografi berikut ini!.
terdapat28.637.952 kasus COVID-19 termasuk 917.417 yang meninggal di seluruh negara (WHO, 2020). Karena Covid-19 ini pun banyak negara yang menerapkan " Lockdown " maupun " Social distancing " untuk mengurangi penyebaran virus ini. Dengan adanya keadaan ini maka perusahaan mengalami periode yang belum pernah dialami sebelumnya, Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan Indonesia telah melaksanakan beberapa kali sensus penduduk. Sejak Kemerdekaan, telah dilakukan enam kali sensus penduduk, yaitu sensus penduduk tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan terakhir tahun 2010. Sebelum Kemerdekaan, sebenarnya di Indonesia juga pernah dilakukan sensus, yaitu tahun 1920 dan 1930. Pada tahun 1920, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 34,3 juta jiwa dan tahun 1930 mencapai 60,7 juta. Berikut ini data hasil sensus penduduk di Indonesia dalam Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan. Dari data hasil sensus, diketahui bahwa laju pertumbuhan penduduk Indonesia mengalami perubahan dari waktu ke waktu. Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dikatakan tinggi jika laju pertumbuhan penduduknya mencapai angka lebih dari 2% . Jika angka pertumbuhannya antara 1 dan 2 persen, laju pertumbuhan termasuk sedang. Jika angka pertumbuhan kurang dari satu persen, laju pertumbuhan termasuk rendah. Berdasarkan kriteria tersebut, pada sensus 2010, laju pertumbuhan penduduk Indonesia tergolong sedang. Sementara itu, negara-negara maju memiliki laju pertumbuhan penduduk yang rendah. Namun demikian, ada kecenderungan laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurun yang berarti sedang menuju ciri kependudukan negara maju pada umumnya dari Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan. Setelah melakukan kegiatan di atas, kamu dapat mengetahui bahwa laju pertumbuhan penduduk bervariasi antara satu negara dan negara lainnya. Negara tertentu angka pertumbuhannya tergolong tinggi, sementara yang lainnya tergolong rendah. Bahkan, ada beberapa negara yang angka pertumbuhan penduduknya negatif atau dibawah nol. Jika angka pertumbuhannya negatif, negara tersebut penduduknya tidak bertambah malah berkurang jumlahnya. Adanya perbedaan laju pertumbuhan penduduk antara satu negara dan negara lainnya menyebabkan setiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Sejumlah negara yang laju pertumbuhannya terlalu kecil atau bahkan negatif, berupaya menaikkan angka pertumbuhan penduduknya melalui sejumlah kebijakan yang bersifat pro-natalis. Kebijakan pro-natalis mendukung penduduknya untuk memiliki jumlah anak yang banyak. Contoh negara tersebut adalah Kuwait, Jepang, argentina, brazil, rusia, perancis, jerman, israel dan beberapa negara lainnya. Pada sisi lain, sejumlah negara berupaya mengendalikan laju pertumbuhan penduduknya karena jumlahnya terlalu besar dan membebani perekonomian negara. Negara-negara tersebut menerapkan kebijakan yang anti-natalis. Kebijakan tersebut berupaya mengendalikan jumlah penduduk dengan beragam program. Contoh negara yang menerapkan kebijakan ini adalah China dengan kebijakan satu anak one child policy Negara lainnya yang menerapkan kebijakan tersebut adalah Indonesia, Nigeria, India, dan sejumlah negara lainnya dalam Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan. Program Keluarga Berencana KB mencerminkan kebijakan antinatalis di Indonesia. Program tersebut diharapkan mampu mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Jika laju pertumbuhan terkendali, diharapkan kualitas penduduknya akan makin baik. Negara juga tidak terlalu dibebani karena harus menyediakan lapangan kerja dan fasilitas hidup yang sangat banyak. dengan cara demikian, Indonesia diharapkan dapat lebih cepat menjadi negara maju. Baca Juga Contoh Dari Sebuah Negara Maju Di Dunia Tips Agar Upaya Indonesia Menjadi Negara Maju Karakteristik Negara Indonesia Menjadi Negara Maju di Dunia Demikian Artikel Laju Pertumbuhan Penduduk Indonesia Sejak Kemerdekaan Yang Saya Buat Semoga Bermanfaat Ya Mbloo Artikel Terkait Kontribusi Kerja Sama Bidang Sosial Budaya Bagi Bangsa Indonesia Sarana Dan Prasarana Transportasi Di Indonesia Pewarisan Budaya Cara Mengatasi Jati Diri Bangsa Tujuan Dan Prinsip Kerja Sama Bidang Politik Lembaga Kerja Sama Antarnegara Bidang EkonomiMrM16 Verified answer Jawaban Pronatalis adalah kebijakan yang mendorong meningkatnya angka kelahirancontoh negara pronatalis yaitu -jepang,-prancis,-kuwaitsemoga terbantu 0 votes Thanks 1TEMPOCO, Jakarta - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman Rizal Ramli menyayangkan mineral yang terkandung di Indonesia lebih banyak dikuasai asing. "Kamis dikasih kesempatan emas dalam bentuk mineral, tembaga, emas, batubara, nikel dan timah. Itu semua, kecuali batu bara, kebanyakan dikuasai asing dalam bentuk kontrak karya," kata Rizal Ramli saat Dies Natalis Universitas Jayabaya ke 57 di
Sensus penduduk merupakan penghitungan jumlah penduduk yang dilakukan oleh pemerintah dalam jangka waktu tertentu, dilakukan secara serentak, dan bersifat menyeluruh dalam suatu batas negara. Sejak kemerdekaan Indonesia telah melaksanakan beberapa kali sensus penduduk yaitu sensus penduduk tahun 1961, 1971, 1980, 1990, 2000, dan terakhir tahun 2010. Sebelum Kemerdekaan, sebenarnya di Indonesia juga pernah dilakukan sensus, yaitu tahun 1920 dan 1930. Pada tahun 1920, jumlah penduduk di Indonesia mencapai 34,3 juta jiwa dan tahun 1930 mencapai 60,7 juta. Berikut ini data hasil sensus penduduk di Indonesia. Pertumbuhan penduduk adalah perubahan penduduk yang dipengaruhi oleh faktor kelahiran, kematian, dan perpindahan penduduk migrasi. Pertumbuhan penduduk di suatu wilayah dikatakan tinggi jika laju pertumbuhan penduduknya mencapai angka lebih dari 2%. Jika angka pertumbuhannya antara 1 dan 2 persen, laju pertumbuhan termasuk sedang. Jika angka pertumbuhan kurang dari satu persen, laju pertumbuhan termasuk rendah. Berdasarkan kriteria tersebut, pada sensus 2010, laju pertumbuhan penduduk Indonesia tergolong sedang. Sementara itu, negara-negara maju memiliki laju pertumbuhan penduduk yang rendah. Namun demikian, ada kecenderungan laju pertumbuhan penduduk Indonesia menurun yang berarti sedang menuju ciri kependudukan negara maju pada umumnya. Jumlah dan Angka Pertumbuhan Penduduk Sejumlah Negara di Dunia per PendudukKem per pendudukNatural Increase Negara Maju Baru4,51470,7 Negara Berkembang Laju pertumbuhan penduduk bervariasi antara satu negara dan negara lainnya. Negara tertentu angka pertumbuhannya tergolong tinggi, sementara yang lainnya tergolong rendah. Bahkan, ada beberapa negara yang angka pertumbuhan negatif. Jika suatu negara pertumbuhan penduduknya negatif maka negara tersebut penduduknya tidak bertambah malah berkurang jumlahnya. Berikut ini adalah hasil sensus penduduk Indonesia setelah kemerdekaan. Tahun SensusJumlah Penduduk jutaLaju Pertumbuhan % 196197,12,15 1971119,22,13 1980147,52,32 1990179,31,97 2000209,61,45 2010237,561,49 Adanya perbedaan laju pertumbuhan penduduk antara satu negara dan negara lainnya menyebabkan setiap negara menerapkan kebijakan yang berbeda untuk mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Kebijaksanaan kependudukan berhubungan dengan dinamika kependudukan, yaitu perubahan-perubahan terhadap tingkat fertilitas, mortalitas dan migrasi. Ada dua macam kebijakan kependudukan yaitu kebijakan pro-natalis dan anti-natalis. Kebijakan pro-natalis mendukung penduduknya untuk memiliki jumlah anak yang banyak. Contoh negara tersebut adalah Kuwait, Jepang, Argentina, Brasil, Jerman, Israel. Kebijakan anti-natalis mendukung kebijakan yang mendorong turunnya angka kelahiran. Hal ini disebabkan karena jumlah penduduk yang terlalu besarr. Contoh negara yang menerapkan kebijakan ini adalah China dengan kebijakan satu anak one child policy Negara lainnya yang menerapkan kebijakan tersebut adalah Indonesia, Nigeria, India, dan sejumlah negara lainnya. Program Keluarga Berencana KB mencerminkan kebijakan antinatalis di Indonesia. Program tersebut diharapkan mampu mengendalikan laju pertumbuhan penduduk. Jika laju pertumbuhan terkendali, diharapkan kualitas penduduknya akan makin baik. Dengan cara demikian, Indonesia diharapkan dapat lebih cepat menjadi negara maju. Dampak Pertumbuhan Penduduk Pertumbuhan penduduk ternyata membawa dampak positif dan negatif bagi suatu negara. Beberapa dampak pertumbuhan penduduk antara lain sebagai berikut. Dampak PositifDampak Negatif Tersedianya tenaga kerja untuk meningkatkan produksi dalam memenuhi kebutuhan yang terus meningkat. Bertambahnya kebutuhan akan pangan, sandang, dan papan sehingga berkembang jumlah dan jenis usaha lokal. Meningkatnya investasi atau penanaman modal karena makin banyak kebutuhan manusia. Meningkatnya inovasi karena penduduk dipaksa untuk memenuhi kebutuhannya. Misalnya, agar produktivitas lahan pertaniannya meningkat, manusia mengembangkan pupuk dan benih unggul untuk memenuhi kebutuhan penduduk yang terus meningkat. Meningkatnya Angka Pengangguran karena tidak terserap lapangan pekerjaan Meningkatnya Angka Kriminal karena desakan kebutuhan. Meningkatnya Angka Kemiskinan karena tidak terpenuhinya kebutuhan Berkurangnya Lahan untuk Pertanian karena digunakan untuk lahan pemukiman Makin Banyaknya Limbah dan Polusi yang disebabkan kegiatan industri, perdagangan, dan rumah tangga. Ketersediaan Pangan Makin Berkurang karena kekurangan lahan pertanian Kesehatan Masyarakat Makin Menurun Berkembangnya Permukiman Tidak Layak Huni Upaya Mengendalikan Pertumbuhan Penduduk Upaya pengendalian laju pertumbuhan penduduk di Indonesia di antaranya diselenggarakan melalui program Keluarga Berencana KB. Program KB mulai digalakkan pada tahun 1970-an. Program tersebut membuahkan hasil karena angka pertumbuhan penduduk mulai berkurang. Tingkat kelahiran yang pada tahun 1970-an mencapai 5,6, pada tahun 2013 turun menjadi 2,6. Tujuan dari program KB tidak hanya sekadar mengendalikan laju pertumbuhan penduduk, tetapi juga memperbaiki kesejahteraan ibu, anak dan keluarga, mengurangi angka kelahiran dan meningkatkan taraf hidup bangsa. Meningkatkan pendidikan, karena pendidikan diyakini akan mengubah cara pandang tentang jumlah anak dan melakukan perencanaan keluarga yang baik. Pendidikan juga dapat menunda usia pernikahan sehingga mengurangi kemungkinan untuk memiliki banyak anak. Pemberdayaan generasi muda, karena generasi muda yang terdidik dan bekerja akan mengurangi kemungkinan memiliki anak dalam jumlah banyak. Mereka akan berpikir rasional dalam menentukan jumlah anak sehingga perannya dalam masyarakat tidak terkendala oleh banyaknya anak. Meningkatkan peran pemuda dalam berbagai aktivitas seperti olahraga, seni, dan budaya. Berbagai aktivitas tersebut akan menunda usia menikah karena kesibukan mereka. Mobilitas Penduduk di Indonesia Perpindahan penduduk dapat berupa perpindahan dari desa ke kota, antarprovinsi, antar-pulau, dan bahkan perpindahan ke negara lainnya. Perpindahan penduduk Indonesia ke negara lain masih sangat kecil dibandingkan dengan tipe migrasi lainnya. 1. Urbanisasi Urbanisasi adalah perpindahan penduduk dari desa ke kota. Urbanisasi di Indonesia sangat jelas terjadi di Pulau Jawa yang daerah perkotaannya banyak berkembang. Banyak penduduk desa yang kemudian memutuskan untuk tinggal di kota, baik untuk menetap atau sementara. Berpindahnya penduduk di Indonesia, terutama setelah kemerdekaan disebabkan oleh beberapa faktor pendorong dan faktor penarik seperti di bawah ini. Faktor PendorongFaktor Penarik Rendahnya penghasilan atau upah di desa sehingga tidak dapat mencukupi kebutuhan hidup. Makin terbatasnya pemilikan lahan pertanian akibat makin besarnya jumlah penduduk di desa. Terbatasnya lapangan kerja di desa. Terbatasnya sarana dan prasarana pendidikan di desa. Terbatasnya sarana hiburan di desa. Adanya bencana alam di desa, misalnya kekeringan, banjir, longsor dan lain-lain. Upah di kota yang lebih tinggi dibandingkan dengan di desa. Jumlah dan peluang pekerjaan di kota yang lebih banyak dan bervariasi Sarana dan prasarana pendidikan yang lebih memadai Sarana dan prasarana hiburan yang lebih memadai 2. Transmigrasi Transmigrasi adalah perpindahan penduduk antarprovinsi di Indonesia. Transmigrasi sudah dilaksanakan sejak jaman penjajahan Belanda. Pada masa penjajahan Belanda, transmigrasi dilaksanakan pertama kali pada tahun 1905. Pada saat itu, sebanyak 155 keluarga dari Karesidenan Kedu meliputi daerah Karanganyar Kebumen, Kebumen, dan Purworejo Jawa Tengah berhasil dipindahkan ke Gedongtatan, Provinsi Lampung. Jumlah penduduk yang dipindahkan mencapai jiwa. Pada masa pendudukan Jepang, dilaksanakan transmigrasi dari Jawa ke Lampung. Jumlah keluarga yang diberangkatkan mencapai keluarga atau jiwa. Pada masa Jepang, pelaksanaan transmigrasi dimaksudkan untuk mobilisasi tenaga kerja ke perkebunan di luar Jawa atau disebut Romusha. Transmigrasi Periode 1994-1999 Pada masa setelah Kemerdekaan, pemerintah melakukan transmigrasi melalui beberapa periodesasi, yaitu 1945-1950, 1950-1968, 1969-1974, 1974- 1979, 1979-1984, 1984-1989, 1989-1994, 1994-1999, 1999-2000, 2001-2003, 2004-sekarang. Daerah tujuannya makin luas tidak hanya ke Lampung, tetapi juga ke berbagai wilayah di Indonesia, seperti Sumatra Utara, Riau, Sumatra Barat, Jambi, Sumatra Selatan, Kalimantan Barat
Iamengingatkan agar jangan seperti kasus di beberapa negara yang melakukan pelonggaran yang salah di tempat wisata yang akhirnya menyebabkan peningkatan kasus. PMII UIN Walisongo Desak Pemerintah Menerapkan Kebijakan Pro Rakyat. Niat Puasa Tasu'a dan Asyura, Simak! Ini Keutamaan Bulan Muharram Dies Natalis Ke-18 STIKES Cendekia Utama
HukumDalam Pembangunan Ekonomi. Adam Smith (1723-1790), Guru Besar dalam bidang filosofi moral dari Glasgow University pada tahun 1750, sekaligus pula sebagai ahli teori hukum, 7 "bapak ekonomi modern," 8 telah melahirkan ajaran mengenai keadilan (justice). Smith mengatakan bahwa, "tujuan keadilan adalah untuk melindungi dari kerugian .